SAYA sedih sekali –di saat kena Covid-19 ini. Saya harus membuang banyak sekali makanan. Saya sendirian di kamar ini. Makanan dari rumah sakit cukup –dan enak. Air cukup. Bahkan saya minta tidak usah dikirimi teh atau kopi –sudah lama tidak minum itu.
Istri masih juga kirim makanan dari rumah. Belum lagi teman-teman. Ada yang kirim kue. Ini berat bagi saya. Saya sudah lama menghindari kue –karena pasti banyak gulanya. Saya tidak punya sakit gula. Tapi sejak umur 60 tahun saya ikut Robert Lai: jauhi gula. Inilah kata Robert untuk orang yang mengaku sudah mengurangi gula. “Aneh, mengaku tidak lagi minum manis tapi masih terus makan kue,” kata teman Singapura saya itu.
Maksudnya: istri saya begitu. Begitu banyak kiriman makanan untuk saya di RS. Ada teman yang kirim Coto Makassar. Yang pakai daging capi itu. Pakai rantang besar. Cukup untuk lima orang. Coba, bagaimana menghabiskannya. Ada yang kirim tahu isi: sehat tapi terlalu banyak. Ada yang kirim miesua: sedap dan segar tapi porsinya begitu besar. Belum lagi ayam goreng, buah, dan… ini dia: ada yang kirim cendol dawet.
Maka saya pun kirim WA ke teman-teman saya: jangan lagi kirim makanan. Akan terbuang. Setiap kali saya membuang makanan hati saya menjerit: duh, ini makanan kok dibuang. Tentu tidak mungkin saya berikan ke perawat atau petugas kebersihan. Rumah sakit ini menerapkan prinsip modern: perawat dilarang menerima apa pun dari pasien. Hatta itu hanya kue.
Itu prinsip manajemen yang baik. Yang akan bisa membentuk corporate culture yang bersih dan lugas. Agak berbeda dengan prinsip hukum fikih, atau fekih –ikut istilah Gus Baha’. Khususnya bab yang membahas soal mubazir. Memang itu mubazir sekali. Dilarang agama. Mubazir itu temannya setan.
Tapi kalau perawat dan petugas diizinkan menerima itu belum tentu tidak mubazir. Justru mubazirnya bisa lebih besar: rusaknya manajemen. Lalu berkembang ke arah koruptif. Dan kerusakan seperti itu nilainya jauh lebih besar. Dibanding nilai makanan yang disayang tersebut.
Padahal sistem manajemen yang rusak, sulit sekali dibangun kembali. Prinsip manajemen dalam hal ini memang tidak seiring dengan fekih. Kenapa tidak dimakan habis saja? Agar tidak mubazir? Tidak sanggup. Kalau saya lakukan itu justru lebih mubazir lagi: dengan terpaksa makan semua itu kesehatan saya akan memburuk. Harga obat, dokter, dan perawatannya jauh lebih besar –dari nilai makanan itu.
Ini juga soal manajemen. Yakni manajemen kesehatan pribadi. Mengapa tidak menyuruh orang untuk dikirim ke tempat lain? Itu keinginan saya yang utama. Tapi tidak ada orang menganggur. Di RS ini semua sibuk. Mereka konsentrasi penuh. Pasien terlalu banyak. Kamar penuh sekali. Keluarga saya tidak bisa. Mereka lagi karantina.
Bagi saya perawat lebih penting menyelamatkan pasien. Saya tidak mau mengganggu mereka. Saya juga tidak bisa melongok ke luar pintu. Saya hanya bisa sedih: makanan dibuang. Maka saya sembah makanan itu sebelum saya buang. Saya minta maaf kepadanya.
Banyak makanan di kamar sebenarnya baik saja. Dulu. Bisa untuk yang menunggu. Atau dibawakan untuk siapa saja. Tapi kali ini beda. Tanpa penunggu. Tanpa penjenguk. Dan saya ingin kamar ini tetap bersih. Juga saya ingin badan saya tidak menggembrot –karena makan terus tanpa olahraga. Gerak saya begitu terbatas. Jalan kaki terjauh yang bisa saya lakukan: lima langkah. Dari tempat tidur ke kamar mandi.
Saya memang ingin sedikit senam di kamar. Saya bisa minta kiriman lagu-lagu senam saya. Tapi di tangan saya ini ada ‘’terminal’’ infus. Kalau banyak terguncamg darah bisa muncrat. Hari kelima di RS –tiga hari lalu– saya di-swab lagi: masih positif. Juga masih strong positif. Padahal sudah lima hari digelontor anti-Covid. Untung hasil test lainnya tetap bagus. Misalnya hasil test kemarin pagi: Temp: 36,5 Blood: 135/71 Oxygen: 98 Heart beat: 81 Masih tersisa pekerjaan bagaimana membuat negatif.
Memang tidak mudah. Dokter tahu saya seorang ‘’residivis’’. Termasuk saya ini tidak lagi punya empedu. Empedu saya dibuang 15 tahun lalu. Bersamaan dengan hati saya yang penuh kanker. Empedu itu sendiri, yang mengait di hati itu, memang sudah ikut rusak.
Kalau saya terus digelontor obat anti-virus bisa bahaya: bisa-bisa liver dan ginjal saya yang kalah. Kalau saja saya masih punya empedu masih terbantu. Tugas empedu kan memproses racun. Termasuk racun dari obat-obatan. Dokter juga harus konsentrasi mengatasi terjadinya pencendolan darah. Dua hari pertama di RS kekentalan darah saya sudah berhasil turun 600 poin. Dari 2.600 ke 2.000. Itu belum cukup. Harus turun 1.500 lagi. Sampai tinggal 500. Atau di bawah itu.
Ketika terjadi penurunan 600 poin itu, dosis obatnya dikurangi. Dokter juga harus memikirkan dampak-dampak lainnya. Akibatnya, dua hari kemudian, angka D-Dimer itu naik lagi sedikit: 50 poin. Akhirnya dosis obatnya dinaikkan lagi. Kembali ke dosis awal. Hasilnya: kemarin diambil darah lagi. Sudah turun lagi 400 poin. Tinggal perlu turun 1.100 lagi.
Saya sendiri akan mengakhiri penggunaan istilah cendol atau mencendol itu. Tapi saya juga belum menemukan istilah dalam bahasa Indonesia yang tepat. Salah satu yang menanggapi soal cendol itu adalah Prof Dr Med Puruhito. Beliau adalah “ayatullah” penyakit jantung Surabaya. Beliau juga perintis bedah jantung.
“Istilah yang pas adalah pengentalan. Memang bisa jadi clot. Kalau ‘’mencendol’’ kurang pas. Secara fisiologis dan hemorheologis (ilmu aliran darah) adalah mengental,” tulis Prof Puruhito. Clot itulah yang saya gambarkan seperti cendol. Meski tidak terlihat oleh mata. Ukuran cendol itu hanya bisa dilihat di mikroskop.
Intinya: cendol-cendol di darah saya itu sangat berbahaya. Terutama karena status saya yang ‘’residivis’’ itu: saya pernah terkena aorta dissection. Tiga tahun lalu. Di Madinah, Arab Saudi. Hari itu saluran utama darah saya pecah. Sejak dari dekat jantung sampai di sekitar pusar. Sepanjang lebih 50 cm.
Saya bersyukur tidak meninggal saat itu. Terutama saat di penerbangan pulang-paksa dari Madinah ke Surabaya. Atau tiga hari kemudian: saat terbang dari Surabaya ke Singapura. Di Singapura, saluran darah saya itu dipasangi ring. Sebanyak 176 buah.
Bahayanya: sekarang ini. Cendol-cendol itu bisa melekat, nempel, di salah satu dari 176 ring itu. Lalu cendol lain ikut menempel di cendol pertama. Pun cendol-cendol berikutnya. Lantas, kapan saja, bisa terjadi takdir buruk: cendol itu lepas dari ring. Lalu ikut mengalir dalam darah. Kintir –dalam bahasa Jawa, entah apakah ada istilah Indonesianya.
Saat cendol itu kintir bisa nyangkut di mana-mana. Terutama ketika melewati saluran darah yang lebih kecil. Kalau nyangkutnya di jantung, bisa berakibat serangan jantung: bisa meninggal. Kalau menyangkutnya di saluran darah otak, bisa stroke: meninggal. Darah itu mengental, atau mencendol, akibat virus Covid-19.
Rupanya, ketika virus masuk ke badan, badan kita berusaha melawan virus Covid. Akibat perlawanan itu menghasilkan zat tertentu yang bisa membuat darah mencendol. Entahlah. Mungkin tidak begitu. Bisa saja saya salah membaca literatur soal ini. Saya bukan dokter yang punya kemampuan membaca literatur dengan benar.
Selama di rumah sakit, saya tidak banyak bertanya ke dokter. Saya percaya penuh. Saya juga tidak pernah menyarankan harus begini atau begitu. Saya selalu mengakui kepintaran dokter. Sampai jauh di dalam hati saya. Kebetulan semua tindakan dokter, di rumah sakit ini, cocok dengan pikiran di kepala saya.***