Mahkamah Agung (MA) bukan kali pertama memutus lepas terhadap terdakwa kasus korupsi. Mantan Direktur Utama PT Pertamina, Karen Agustiawan divonis lepas pada tingkat kasasi oleh MA dari segala tuntutan.
Laporan: JPG
Padahal pada pengadilan tingkat pertama hingga putusan banding, Karen Agustiawan divonis hukuman 8 tahun penjara. Karena dinilai terbukti merugikan keuangan negara terkait kasus kegagalan Pertamina dalam akuisisi saham Blok BMG sebesar 10 persen, atau sebesar 31,5 juta dolar AS.
“Melepaskan Terdakwa dari segala tuntutan hukum,” kata juru bicara MA, Andi Samsan Nganro dikonfirmasi, Senin (9/3).
Putusan kasasi ini diadili oleh Ketua Majelis Hakim Agung Suhadi dengan anggota Krisna Harahap, Abdul Latif, Mohammad Askin dan Sofyan Sitompul. Dalam pertimbangannya, majelis hakim menilai apa yang dilakukan Karen merupakan bussines judment ruke dan perbuatan itu bukan merupakan tindak pidana.
“Menurut Majelis kasasi, putusan direksi dalam suatu aktivitas perseroan tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun. Kendati putusan itu pada akhirnya menimbulkan kerugian bagi perseroan tetapi itu merupakan resiko bisnis. Bertolak dari karakteristik bisnis yang sulit untuk diprediksi ( unpredictable) dan tidak dapat ditentukan secara pasti,” tegas Andi.
MA putus lepas mantan Direktur Keuangan Pertamina Ferederick Siahaan
Dalam kasus yang sama, MA sebelumnya telah memutus lepas mantan Direktur Keuangan Pertamina Ferederick Siahaan. Putusan tersebut diputuskan pada Senin, 2 Desember 2019 oleh majelis hakim kasasi Suhadi sebagai ketua majelis, Krishna Harahap dan Abdul Latif masing-masing sebagai hakim anggota.
Padahal, Ferederick dihukum 8 tahun penjara terkait kasus korupsi blok Basker Manta Gummy (BMG) Australia pada 2009 yang merugikan negara hingga Rp 568 miliar.
Dalam pertimbangan hakim MA, meski Ferederick dinilai terbukti melakukan perbuatan sebagaimana yang didakwakan penuntut umum, tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana.
Majelis tingkat kasasi menilai, penandatanganan terdakwa sebagai penjamin merupakan perintah jabatan sesuai Pasal 51 ayat (1) KUHP, sehingga Terdakwa tidak dapat dipersalahkan. Begitu juga dengan keuangan anak perusahaan BUMN tidak termasuk keuangan negara (vide putusan MK No.01/PHPUPres/XVII/2019).
MA putus lepas terdakwa korupsi SKL BLBI Syafruddin Arsyad Temenggung
Pada 2019 lalu banyak terdakwa korupsi yang diputus lepas oleh MA selain Feredrick Siahaan, Hakim Agung juga memutus lepas mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT)
dari jeratan kasus dugaan korupsi surat keterangan lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Putusan itu menggugurkan putusan Pengadilan Tinggi DKI yang menambah hukuman Syafruddin menjadi 15 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 3 bulan kurungan.
Namun, putusan lepas terhadap Syafruddin diwarnai perbedaan pendapat (dissenting opinion) antar majelis hakim. Hakim Ketua Salman Luthan menyatakan sependapat dengan putusan Pengadilan Tinggi DKI yang menambah hukuman Syafruddin menjadi 15 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 3 bulan kurungan.
Sementara, Hakim Anggota Syamsul Rakan Chaniago berpendapat perbuatan Syafruddin merupakan perbuatan hukum perdata. Sedangkan Hakim Anggota M. Askin menyatakan perbuatan Syafruddin merupakan perbuatan hukum administrasi.
Kendati demikian, kasasi yang diajukan Syafruddin dikabulkan MA. Sehingga mantan Kepala BPPN itu dilepaskan dari masa kurungannya.
Belakangan, akibat putusan lepas itu, MA memutuskan hakim ad hoc Tindak Pidana Korupsi MA, Syamsul Rakan Chaniago dinilai bersalah melanggar kode etik dan perilaku hakim. Dia diduga melakukan pertemuan dengan Ahmad Yani yang merupakan salah satu tim kuasa hukum Syafruddin Temenggung.
Pertemuan itu diduga terjadi pada Jumat, 28 Juni 2019, sekitar pukul 17.38 WIB sampai dengan pukul 18.30 WIB di Plaza Indonesia, Jakarta Pusat. Bahkan pertemuannya dengan Ahmad Yani karena di kantor lawfirm masih tercantum nama Syamsul, meski sudah menjabat sebagai hakim ad hoc Tipikor di MA.
Atas perbuatannya, Syamsul dihukum selama 6 bulan untuk tidak menangani perkara. Perbuatan Syamsul dianggap telah melanggar Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial, Pasal 21 huruf b.
Sumber: Jawapos.com
Editor: E Sulaiman