JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Wacana pembukaan zona kuning untuk sekolah tatap muka tampaknya berpotensi terealisasi. Dalam arti, sekolah tatap muka tidak hanya berlangsung di zona hijau, namun juga akan dilakukan di daerah zona kuning. Kemendikbud sudah selesai mengkaji aspirasi para orang tua yang menginginkan zona kuning dibuka.
Hal itu disampaikan Ketua Satgas Penanganan Covid-19 Doni Monardo usai rapat kabinet terbatas virtual, Senin (27/7). Menjawab pertanyaan JPG mengenai pembelajaran jarak jauh, Doni menuturkan bahwa tidak lama lagi akan ada pengumuman dari Kemendikbud.
"Daerah-daerah selain zona hijau itu, juga akan diberikan kesempatan untuk melakukan kegiatan belajar tatap muka dengan cara terbatas," terangnya.
Meskipun demikian, Doni enggan menjelaskan lebih lanjut zona apa saja yang dibuka dan bagaimana pembatasan yang akan dilakukan Kemendikbud. Sebab, itu merupakan wewenang penuh dari Kemendikbud selaku pengambil kebijakan. Pada awal tahun ajaran baru 13 Juli lalu, Doni menyampaikan bahwa pihaknya mendapat aspirasi dari sejumlah orang tua dan pimpinan sekolah. Mereka menuntut agar daerah zona kuning dibuka untuk kegiatan belajar tatap muka. Saat itu, aspirasi tersebut masih dikaji bersama dengan Kemendikbud.
Kala itu Doni sudah memberikan gambaran bila memang pada akhirnya aspirasi tersebut disetujui. Yakni dengan memberikan batasan-batasan yang ketat. ’’Maksimal setiap pelajar itu hanya dua kali saja (dalam seminggu) mengikuti kegiatan (belajar tatap muka),’’ tutur Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana itu. Selain itu, pelajar yang ikut sesi tatap muka juga harus dibatasi. "Persentase pelajar yang ada di ruangan tidak boleh lebih dari 30 persen atau 25 persen," lanjutnya.
Bila aspirasinya dikabulkan, ujar Doni, tambahan daerah yang boleh buka hanya sampai zona kuning. Zona oranye apalagi merah masih dilarang menggelar kegiatan belajar tatap muka. Di luar itu, Doni mengapresiasi sejumlah guru di daerah yang kreatif dalam mengajar menyesuaikan kondisi pembelajaran jarak jauh. Misalnya yang menggunakan radio panggil atau HT sebagai sarana mengajar.
"Karena tidak ada rotan akar pun jadi. Sehingga, kegiatan belajar mengajar bisa tetap berlangsung di tengah keterbatasan," ujarnya.
Rencana pembukaan daerah selain zona hijau untuk sekolah tatap muka itu langsung mendapat kritikan tajam dari Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI). Wakil Sekjen FSGI Satriwan Salim menegaskan, keputusan tersebut akan sangat berbahaya. Sebab, dapat mengancam nyawa siswa, guru, dan orang tua.
"Dan itu jumlahnya jutaan," ujarnya.
Satriwan meminta agar pemerintah tidak grasa-grusu mengambil kebijakan tersebut. Mengingat, dari survei FSGI sebelumnya, sekolah di zona hijau saja banyak yang tidak siap untuk membuka kegiatannya kembali. Selain tidak siap anggaran, sekolah-sekolah ini juga belum tersedia sarana dan prasarana penunjang serta protokol kesehatannya.
"Bahkan di zona hijau saja belum siap. Bagaimana dengan zona lain malah," tegas guru SMA Labschool Jakarta tersebut.
Menurutnya, jika skenario tersebut dijadikan sebagai solusi dari masalah PJJ yang belum optimal maka pemerintah salah besar. Harusnya, untuk memaksimalkan PJJ yang berjalan, pemerintah menambah hot spot di daerah. Caranya, bekerja sama dengan Telkomsel.
"Telkomsel untuk saat ini orientasinya jangan bisnis dulu. Tapi kembali pada fitrahnya sebagai BUMN untuk mencerdaskan anak bangsa," paparnya.
Kemudian, ujar Satriwan, bekali anak dengan gawai. Bila itu tidak memungkinkan dilakukan dalam waktu dekat, pemerintah bisa mengatur sentra pembelajaran di desa. Yakni, dengan memanfaatkan balai desa yang diklaim oleh Kementerian Kominfo sudah dialiri internet.
"Atur agar guru dan murid bisa belajar dari sana dengan tetap menjalankan protokol kesehatan," katanya.
Apabila keputusan ini tetap diambil, dia menilai langkah Kemendikbud ini seolah lempar tanggung jawab. Ketika semua kebutuhan untuk PJJ tidak bisa dipenuhi, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim justru memaksakan untuk anak dan guru di zona nonhijau masuk. (wan/mia/byu/jpg)