JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Polemik buronan Djoko Tjandra bakal terus melebar. Bisa jadi tak hanya Brigjen Prasetijo Utomo, sejumlah pejabat lain juga bisa terseret. Karena ada kemungkinan pihak yang memanfaatkan batas waktu red notice. Kedivhumas Polri Irjen Argo Yuwono menuturkan bahwa red notice di Interpol Pusat yang berada di Lyon, Prancis itu disebut file. Yang ditujukan untuk pencarian buronan anggota Interpol.
"Khusus Djoko Tjandra itu red notice diajukan pada 2009," terangnya.
Dalam pengajuan itu ada berbagai syarat, seperti surat penangkapan, sidik jari, bukti perlintasan dan kemudian dilakukan gelar perkara di Bareskrim.
"Untuk melihat sejauh apa peran buronan ini," tuturnya.
Setelah gelar perkara itulah, kemudian Interpol Indonesia mengajukan red notice ke Interpol Pusat. Yang kemudian disebar oleh Interpol Pusat ke semua negara anggota Interpol. Regulasinya, red notice itu memiliki batas waktu lima tahun setelah diajukan.
"Untuk batas waktu lima tahun buronan Djoko Tjandra itu pada 2014," paparnya.
Bila tidak diperbaharui, maka akan dihapus oleh sistem Interpol Pusat. Proses untuk pembaharuan itu seharusnya diajukan oleh penyidik kasus yang menangani Djoko Tjandra. Dalam hal ini diketahui bahwa Kejaksaan Agung (Kejagung) yang menangani kasus tersebut.
"Harusnya penyidik yang tangani kasus minta ajukan red notice kembali," paparnya.
Kenapa pada 2014 sebagai batas waktu red notice Djoko Tjandra tidak diajukan kembali? Argo mengaku akan bertanya kembali soal bagaimana prosesnya bisa tidak diajukan kembali.
"Lalu juga ada soal surat Interpol Indonesia ke Dirjen Imigrasi. Surat itu bukan penghapusan red notice, melainkan surat penyampaian bahwa red notice Djoko Tjandra telah dihapus oleh sistem," paparnya.
Dalam surat bernomor B/186/V/2020/NCB-Div HI tertanggal 5 Mei 2020 disebutkan bahwa red notice Djoko Tjandra telah terhapus sejak 2014 oleh sistem basis Interpol. Hal itu dikarenakan tidak ada permintaan perpanjangan dari Kejaksaan Agung RI, selaku pihak yang meminta. Dalam surat itu disebutkan adanya rujukan surat Anna Boentaran, istri dari Djoko Tjandra, pada 16 April 2020 untuk pencabutan red notice. Dengan begitu dapat diartikan jauh sebelum surat permintaan pencabutan red notice oleh Anna Buntaran, red notice Djoko Tjandra telah terhapus.
Argo mengatakan, perlu diketahui bahwa pada 2015 lalu ada isu Djoko Tjandra terpantau di Papua Nugini. Pada saat itu Divhubinter mengirimkan surat permintaan agar Djoko Tjandra dimasukkan ke daftar pencarian orang (DPO) dan melakukan tindakan pengamanan bila mendeteksinya. "Jadi agar memasukkan Djoko Tjandra ke DPO Ditjen Imigrasi," terangnya.
Sementara Pengamat Kepolisian Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto menjelaskan bahwa dalam kasus ini ada komunikasi yang tidak baik antarlembaga, baik Kejagung dengan Polri dan Polri dengan Ditjen Imigrasi.
"Seharusnya saling menanyakan antara lembaga," paparnya.
Polri seharusnya jangan hanya menunggu pengajuan dari Kejagung. Malahan akan lebih baik bila jemput bola ke Kejagung soal buronan Djoko Tjandra.
"Jemput bola kenapa tidak diperbaharui," terangnya.
Yang juga penting, batas waktu red notice ini bisa jadi memang celah yang sengaja dimanfaatkan. Tidak menutup peluang ada gratifikasi dalam kejadian tersebut.
"Siapa itu harus diusut tuntas," jelasnya.
Polri juga harus berkaca karena sistemnya tidak bisa mendeteksi hal semacam ini. Harusnya ada sistem yang bisa mendeteksi hal semacam ini.
"Agar tidak terulang ke kasus lainnya," terangnya.
Sementara Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) sebagai pelapor kasus Djoko Tjandra menilai memang letak kelalaian ada pada NCB Interpol. Menurut Koordinator MAKI Boyamin Saiman menyatakan bahwa meski tidak ada permintaan perpanjangan red notice dari Kejaksaan Agung, seharusnya status cekal tetap berlaku selama Djoko belum ditangkap.
NCB Interpol juga disebut salah oleh MAKI karena mengirimkan penyampaian pencabutan red notice ke Ditjen Imigrasi Kemenkumham. Sebab, sebelumnya mereka sudah mengirim surat ke Kejagung. Pihak Kejagung kemudian merespon dengan menyatakan bahwa Djoko tetap DPO dan dicekal. Respons tersebut, lanjut Boyamin, disampaikan secara resmi oleh Kejagung dalam surat konfirmasi status red notice Djoko yang ditujukan ke Divhubinter Polri pada April 2020. Intinya, meminta bahwa status tersebut terus diberlakukan karena Djoko belum jelas diketahui keberadaannya. Di Indonesia atau luar Indonesia.
Namun, Boyamin menjelaskan jawaban tersebut tidak ditindaklanjuti oleh NCB. Malah dengan pertimbangan red notice sudah melewati masa berlakunya, NCB Interpol diduga langsung berkirim surat ke Ditjen Imigrasi untuk pencabutan cekal tanpa sepengetahuan Kejagung.
"Mestinya kan sebelum ada pencabutan itu pun harus tetap ada pemberitahuan ditembuskan ke Kejagung, tidak langsung dicabut begitu saja," jelas Boyamin. Dengan begini, MAKI menilai permainannya ada di antara NCB Interpol dengan Ditjen Imigrasi. Dia juga menegaskan bahwa antara cekal dan red notice sebenarnya dua hal berbeda. Cekal berlaku dalam sistem imigrasi Indonesia di mana berlaku jika orangnya di dalam negeri. Bila orangnya sudah buron di luar negeri, maka saat yang bersangkutan masuk akan langsung dilaporkan oleh Imigrasi dan diserahkan ke penegak hukum.
Sementara red notice adalah permintaan penangkapan orang di luar negeri untuk dipulangkan ke Indonesia. Memang kemudian ada aturan menurut aturan Interpol yang tertuang dalam III/IRDP/GA/2011, pasal 68 ayat (3), red notice berlaku maksimal lima tahun. Jika tidak ada permintaan baru, maka otomatis red notice dianggap dihapuskan.
"Atas dasar pemberitahuan red notice telah dihapus itu, maka dimaknai cekal juga tidak berlaku," lanjut Boyamin.