Sabtu, 23 November 2024
spot_img

Mengupas Dexamethasone si Obat Dewa

JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam situsnya menyatakan adanya uji klinis dexamethasone dari peneliti Universitas Oxford Inggris.

Obat ini diklaim dapat menyelamatkan pasien Covid-19 dengan kondisi yang sangat kritis. Pembahasan penggunaan obat ini masih dilakukan oleh berbagai ahli di Indonesia.

Dari website WHO, dilansir bahwa dexamethasone dapat mengurangi kematian hingga 1:3 pasien yang menggunakan ventilator. Sementara untuk pasien yang harnya membutuhkan oksigen, tingkat mortalistasnya sekitar seperlima.

Dexamethasone adalah steroid yang telah digunakan sejak 1960-an untuk mengurangi peradangan dalam berbagai kondisi. Termasuk gangguan peradangan dan kanker tertentu. Obat ini telah terdaftar dalam daftar model obat esensial WHO sejak 1977 dalam berbagai formulasi. Obat ini bisa digunakan dalam beberapa kasus penyakit. Sehingga kerap disebut obat dewa. Harganya terjangkau di sebagian besar negara.

"Ini adalah pengobatan pertama yang ditunjukkan untuk mengurangi angka kematian pada pasien dengan Covid-19 yang membutuhkan dukungan oksigen atau ventilator," kata Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus,. Menurutnya hal ini merupakan berita bagus. Temuan ini memperkuat pentingnya uji coba kontrol acak besar yang menghasilkan bukti yang dapat ditindaklanjuti.  

Ketua Satgas Covid-19 PB IDI Prof Zubairi Djoerban SpPD menyatakan bahwa dalam penelitian yang dilakukan oleh peneliti Inggris, ada dua hal yang dapat dipetik. Pertama terkait penggunaan Chloroquine yang selama ini diberikan pada pasien Covid-19, yang ternyata dibuktikan tidak efektif. Sementara dexamethasone dinyatakan bermanfaat bagi pasien Covid-19. "Penggunaan dexamethasone dinyatakan dalam laporannya hanya 10 hari saja," ungkapnya.

Zubairi menyatakan akrab dengan obat ini. Sebab ahli penyakit dalam ini sering menggunakan obat ini untuk penyakit autoimun yang ditangani. Menurut pengalamannya, dengan pemantauan dokter maka obat ini aman. "Kalau ada efek samping, semua obat pasti ada. Namun bisa diminimalisir," ujarnya.

Obat ini menurutnya merupakan jenis obat G atau berbahaya. Sehingga pasien tidak diperkenankan membeli dan mengkonsumsi obat ini serampangan. Namun dia tidak memungkiri bahwa bisa saja obat ini diperoleh dengan mudah.

Lalu bagaimana jika digunakan untuk Covid-19? Ada 2100 pasien yang dinyatakan membaik dengan penggunaan terapi dengan obat ini. Apalagi metode yang digunakan dengan membandingkan obat yang selama ini digunakan dengan dexamethasone. Ada 4300 pasien yang dilakukan uji coba.

Obat ini juga telah lama ada di Indonesia dan digunakan pengobatan untuk berbagai penyakit. Rabu lalu (17/6) perhimpunan dokter spesialis membahas hal ini. "Arahnya sih setuju (digunakan, red)," ucapnya.

Baca Juga:  Azmi Inginkan Solusi Jalan Amblas Pusako

Plt Ketua Program Studi Farmasi Klinik dan Komunitas Sekolah Farmasi Insitut Teknologi Bandung Neng Fisheri Kurniati mengungkapkan hingga saat ini pihaknya belum menerima laporan lengkap tentang riwayat penggunaan obat dexamethasone pada pasien Covid-19 dengan gejala gangguan pernapasan berat.

Neng mengatakan pada dasarnya infeksi virus SARS-CoV-2 memang menyebabkan gangguan pada sistem pernapasan. "Tingkat keparahannya dapat dibagi menjadi asimptomatik, ringan, sedang dan berat," jelas Neng pada JPG, kemarin (18/6)

Golongan pertama dikategorikan pasien dengan gejala ringan. Tingkat keparahan asimptomatik ini tidak menunjukkan gejala penyakit dan menunjukkan hasil pemindaian X-ray dengan paru-paru normal.

"Asimptomatik menunjukkan gejala seperti gangguan pada saluran pernafasan atas seperti pilek, batuk kering, sakit tenggorokan dan sebagainya tetapi hasil X-ray paru-paru masih normal," katanya.

Sementara pada pasien tingkat keparahan sedang,  pemindaian akan menunjukkan edikit lesi pada paru-paru. Kemudian pasien dengan tingkat keparahan berat selain mengalami demam tinggi, batuk berdahak bahkan berdarah, pasien juga menderita sesak napas, kekurangan oksigen dan nyeri dada, sehingga membutuhkan bantuan ventilator atau oksigen.

Dari berbagai artikel yang beredar, kegunaan dexamethasone ini kata Neng adalah mengurangi hyperinflamasi yang dipicu oleh sistem imun seseorang saat tubuhnya berperang melawan virus. Hiper inflamasi inilah yang menyebabkan gangguan pernafasan pada pasien Covid-19 kategori sedang dan berat.  

Menurut yang dilaporkan, dexamethasone dapat mengurangi angka kejadian kematian pada pasien Covid-19  yang menggunakan ventilator hingga 35 persen dan pada pasien Covid-19 yang mendapatkan bantuan tambahan oksigen hingga 20 persen.  Namun efek dexamethasone ini tidak terlihat pada pasien Covid-19 ringan.

"Dugaan sementara kami mekanisme dari deksametason ini adalah menurunkan reaksi hiperinflamasi yang terjadi pada pasien Covid-19 berat," jelasnya.

Dexamethasone sendiri kata Neng adalah obat golongan kortikosteroid yang digunakan untuk penanganan reaksi alergi, peradangan, dan menurunkan sistem kekebalan tubuh. Namun, Obat ini juga mengandung efek samping terhadap tubuh.

Efek samping yang dihasilkan kata Neng umumnya adalah mual, muntah, bisa juga berupa kegemukan, osteoporosis, meningkatnya kadar gula darah, meningkatnya tekanan darah, katarak, gangguan mood, dan lain sebagainya.   Efek samping ini sifatnya ada yang parsial menghilang ketika obat dihentikan dan ada yang menetap artinya tidak dapat hilang walaupun obat dihentikan seperti efek samping pada kardiovaskular, mata dan tulang.  

Efek samping penggunaan ini sangat tergantung pada besarnya dosis dan lamanya penggunaan. Semakin besar dosis dan lamanya penggunaan,maka semakin besar munculnya efek samping.

Baca Juga:  Operasi Bina Kusuma Sasar Premanisme di Dumai

"Dari yang saya baca, penelitian di Inggris tersebut adalah penggunaannya adalah 6 mg sehari dengan masa 10 hari. Ini termasuk dosis rendah. Harapannya mungkin agar meminimalisir munculnya efek samping," ujarnya.

Lebih dari itu, sejauh ini penelitian tersebut menyebutkan bahwa penggunaan obat dexamethasone tidak mempan pada pasien dengan tingkat asimptomatik atau ringan. Sehingga memang hanya sementara cocok pada mereka yang mengalami gangguan pernapasan.

Sementara untuk penggunaan pada pasien dengan penyakit penyerta (komorbid) seperti diabetes dan hipertensi, maka belum banyak yang bisa disimpulkan. "Karena perlu ada penelitian pada subgroup dan populasinya. Bagaimana dampaknya untuk pasien dengan diabetes bagaimana dengan hipertensi atau dengan gabungan gangguan pernafasan dan diabetes," jelasnya.

Neng mengatakan, secara umum, pengobatan suatu penyakit dilihat dari benefit (risk-ratio)-nya. Jika benefitnya lebih besar dibandingkan resikonya, maka obat dapat digunakan, begitu juga sebaliknya. Pada pasien Covid-19 berat, manfaat penggunaan deksametason lebih besar karena mampu mengurangi kematian dibandingkan dengan efek samping.

"Monitoring efek samping dapat dilakukan selama penggunaan obat deksametason. Namun, alangkah bijaksana jika kita menunggu full report dari studi ini untuk mengetahui lebih jelas kebermanfaatan deksametason dalam penanganan pasien Covid-19," tutur Neng.

Di sisi lain, upaya global untuk mengembangkan vaksin untuk Covid-19 masih terus dilakukan. Dua BUMN Farmasi Indonesia, Kalbe Farma dan Biofarma bekerja sama dengan negara sahabat untuk mengembangkan vaksin. Kalbe Farma bekerja sama dengan Korea Selatan, sementara Biofarma bekerja sama dengan Sinovac Biotech yang berbasis di Cina.

Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 (GTPPC) Prof Wiku Adisasmito menjelaskan, masing-masing kerja sama memiliki perkembangan yang berbeda. Untuk kerja sama antara Biofarma dnegan Sinovac, calon vaksin sudah lolos uji klinis tahap pertama.

"Tahap kedua, yakni tes imunologi saat ini sedang berjalan," terangnya kemarin. hasilnya diperkirakan bisa diumumkan akhir bulan ini.

Uji klinis tahap ketiga direncanakan berlangsung Juli mendatang. ’’Targetnya, produksi vaksin bsia dimulai akhir 2020,’’ lanjut Wiku. Kerja sama antara Biofarma dan Sinovac juga sudah disetujui WHO, dan keduanya bersiap pula untuk melaksanakan transfer teknologi.

Sementara, kerja sama Kalbe Farma dengan Korsel menghasilkan calon vaksin, yang pekan lalu mendapat persetujuan untuk dilakukan uji klinis pertama dan kedua. Uji klinis tahap pertama akan dilaksanakan bulan ini di Korsel.

"Indoensia akan mengambil bagian dalam uji klinis tahap kedua, yang rencananya akan berlangsung di Agustus," tambah Wiku.(lyn/tau/byu/jpg)

JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam situsnya menyatakan adanya uji klinis dexamethasone dari peneliti Universitas Oxford Inggris.

Obat ini diklaim dapat menyelamatkan pasien Covid-19 dengan kondisi yang sangat kritis. Pembahasan penggunaan obat ini masih dilakukan oleh berbagai ahli di Indonesia.

- Advertisement -

Dari website WHO, dilansir bahwa dexamethasone dapat mengurangi kematian hingga 1:3 pasien yang menggunakan ventilator. Sementara untuk pasien yang harnya membutuhkan oksigen, tingkat mortalistasnya sekitar seperlima.

Dexamethasone adalah steroid yang telah digunakan sejak 1960-an untuk mengurangi peradangan dalam berbagai kondisi. Termasuk gangguan peradangan dan kanker tertentu. Obat ini telah terdaftar dalam daftar model obat esensial WHO sejak 1977 dalam berbagai formulasi. Obat ini bisa digunakan dalam beberapa kasus penyakit. Sehingga kerap disebut obat dewa. Harganya terjangkau di sebagian besar negara.

- Advertisement -

"Ini adalah pengobatan pertama yang ditunjukkan untuk mengurangi angka kematian pada pasien dengan Covid-19 yang membutuhkan dukungan oksigen atau ventilator," kata Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus,. Menurutnya hal ini merupakan berita bagus. Temuan ini memperkuat pentingnya uji coba kontrol acak besar yang menghasilkan bukti yang dapat ditindaklanjuti.  

Ketua Satgas Covid-19 PB IDI Prof Zubairi Djoerban SpPD menyatakan bahwa dalam penelitian yang dilakukan oleh peneliti Inggris, ada dua hal yang dapat dipetik. Pertama terkait penggunaan Chloroquine yang selama ini diberikan pada pasien Covid-19, yang ternyata dibuktikan tidak efektif. Sementara dexamethasone dinyatakan bermanfaat bagi pasien Covid-19. "Penggunaan dexamethasone dinyatakan dalam laporannya hanya 10 hari saja," ungkapnya.

Zubairi menyatakan akrab dengan obat ini. Sebab ahli penyakit dalam ini sering menggunakan obat ini untuk penyakit autoimun yang ditangani. Menurut pengalamannya, dengan pemantauan dokter maka obat ini aman. "Kalau ada efek samping, semua obat pasti ada. Namun bisa diminimalisir," ujarnya.

Obat ini menurutnya merupakan jenis obat G atau berbahaya. Sehingga pasien tidak diperkenankan membeli dan mengkonsumsi obat ini serampangan. Namun dia tidak memungkiri bahwa bisa saja obat ini diperoleh dengan mudah.

Lalu bagaimana jika digunakan untuk Covid-19? Ada 2100 pasien yang dinyatakan membaik dengan penggunaan terapi dengan obat ini. Apalagi metode yang digunakan dengan membandingkan obat yang selama ini digunakan dengan dexamethasone. Ada 4300 pasien yang dilakukan uji coba.

Obat ini juga telah lama ada di Indonesia dan digunakan pengobatan untuk berbagai penyakit. Rabu lalu (17/6) perhimpunan dokter spesialis membahas hal ini. "Arahnya sih setuju (digunakan, red)," ucapnya.

Baca Juga:  Reaksi ketika Pemerintah Wacanakan Pungut Pajak dari Sembako

Plt Ketua Program Studi Farmasi Klinik dan Komunitas Sekolah Farmasi Insitut Teknologi Bandung Neng Fisheri Kurniati mengungkapkan hingga saat ini pihaknya belum menerima laporan lengkap tentang riwayat penggunaan obat dexamethasone pada pasien Covid-19 dengan gejala gangguan pernapasan berat.

Neng mengatakan pada dasarnya infeksi virus SARS-CoV-2 memang menyebabkan gangguan pada sistem pernapasan. "Tingkat keparahannya dapat dibagi menjadi asimptomatik, ringan, sedang dan berat," jelas Neng pada JPG, kemarin (18/6)

Golongan pertama dikategorikan pasien dengan gejala ringan. Tingkat keparahan asimptomatik ini tidak menunjukkan gejala penyakit dan menunjukkan hasil pemindaian X-ray dengan paru-paru normal.

"Asimptomatik menunjukkan gejala seperti gangguan pada saluran pernafasan atas seperti pilek, batuk kering, sakit tenggorokan dan sebagainya tetapi hasil X-ray paru-paru masih normal," katanya.

Sementara pada pasien tingkat keparahan sedang,  pemindaian akan menunjukkan edikit lesi pada paru-paru. Kemudian pasien dengan tingkat keparahan berat selain mengalami demam tinggi, batuk berdahak bahkan berdarah, pasien juga menderita sesak napas, kekurangan oksigen dan nyeri dada, sehingga membutuhkan bantuan ventilator atau oksigen.

Dari berbagai artikel yang beredar, kegunaan dexamethasone ini kata Neng adalah mengurangi hyperinflamasi yang dipicu oleh sistem imun seseorang saat tubuhnya berperang melawan virus. Hiper inflamasi inilah yang menyebabkan gangguan pernafasan pada pasien Covid-19 kategori sedang dan berat.  

Menurut yang dilaporkan, dexamethasone dapat mengurangi angka kejadian kematian pada pasien Covid-19  yang menggunakan ventilator hingga 35 persen dan pada pasien Covid-19 yang mendapatkan bantuan tambahan oksigen hingga 20 persen.  Namun efek dexamethasone ini tidak terlihat pada pasien Covid-19 ringan.

"Dugaan sementara kami mekanisme dari deksametason ini adalah menurunkan reaksi hiperinflamasi yang terjadi pada pasien Covid-19 berat," jelasnya.

Dexamethasone sendiri kata Neng adalah obat golongan kortikosteroid yang digunakan untuk penanganan reaksi alergi, peradangan, dan menurunkan sistem kekebalan tubuh. Namun, Obat ini juga mengandung efek samping terhadap tubuh.

Efek samping yang dihasilkan kata Neng umumnya adalah mual, muntah, bisa juga berupa kegemukan, osteoporosis, meningkatnya kadar gula darah, meningkatnya tekanan darah, katarak, gangguan mood, dan lain sebagainya.   Efek samping ini sifatnya ada yang parsial menghilang ketika obat dihentikan dan ada yang menetap artinya tidak dapat hilang walaupun obat dihentikan seperti efek samping pada kardiovaskular, mata dan tulang.  

Efek samping penggunaan ini sangat tergantung pada besarnya dosis dan lamanya penggunaan. Semakin besar dosis dan lamanya penggunaan,maka semakin besar munculnya efek samping.

Baca Juga:  Azmi Inginkan Solusi Jalan Amblas Pusako

"Dari yang saya baca, penelitian di Inggris tersebut adalah penggunaannya adalah 6 mg sehari dengan masa 10 hari. Ini termasuk dosis rendah. Harapannya mungkin agar meminimalisir munculnya efek samping," ujarnya.

Lebih dari itu, sejauh ini penelitian tersebut menyebutkan bahwa penggunaan obat dexamethasone tidak mempan pada pasien dengan tingkat asimptomatik atau ringan. Sehingga memang hanya sementara cocok pada mereka yang mengalami gangguan pernapasan.

Sementara untuk penggunaan pada pasien dengan penyakit penyerta (komorbid) seperti diabetes dan hipertensi, maka belum banyak yang bisa disimpulkan. "Karena perlu ada penelitian pada subgroup dan populasinya. Bagaimana dampaknya untuk pasien dengan diabetes bagaimana dengan hipertensi atau dengan gabungan gangguan pernafasan dan diabetes," jelasnya.

Neng mengatakan, secara umum, pengobatan suatu penyakit dilihat dari benefit (risk-ratio)-nya. Jika benefitnya lebih besar dibandingkan resikonya, maka obat dapat digunakan, begitu juga sebaliknya. Pada pasien Covid-19 berat, manfaat penggunaan deksametason lebih besar karena mampu mengurangi kematian dibandingkan dengan efek samping.

"Monitoring efek samping dapat dilakukan selama penggunaan obat deksametason. Namun, alangkah bijaksana jika kita menunggu full report dari studi ini untuk mengetahui lebih jelas kebermanfaatan deksametason dalam penanganan pasien Covid-19," tutur Neng.

Di sisi lain, upaya global untuk mengembangkan vaksin untuk Covid-19 masih terus dilakukan. Dua BUMN Farmasi Indonesia, Kalbe Farma dan Biofarma bekerja sama dengan negara sahabat untuk mengembangkan vaksin. Kalbe Farma bekerja sama dengan Korea Selatan, sementara Biofarma bekerja sama dengan Sinovac Biotech yang berbasis di Cina.

Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 (GTPPC) Prof Wiku Adisasmito menjelaskan, masing-masing kerja sama memiliki perkembangan yang berbeda. Untuk kerja sama antara Biofarma dnegan Sinovac, calon vaksin sudah lolos uji klinis tahap pertama.

"Tahap kedua, yakni tes imunologi saat ini sedang berjalan," terangnya kemarin. hasilnya diperkirakan bisa diumumkan akhir bulan ini.

Uji klinis tahap ketiga direncanakan berlangsung Juli mendatang. ’’Targetnya, produksi vaksin bsia dimulai akhir 2020,’’ lanjut Wiku. Kerja sama antara Biofarma dan Sinovac juga sudah disetujui WHO, dan keduanya bersiap pula untuk melaksanakan transfer teknologi.

Sementara, kerja sama Kalbe Farma dengan Korsel menghasilkan calon vaksin, yang pekan lalu mendapat persetujuan untuk dilakukan uji klinis pertama dan kedua. Uji klinis tahap pertama akan dilaksanakan bulan ini di Korsel.

"Indoensia akan mengambil bagian dalam uji klinis tahap kedua, yang rencananya akan berlangsung di Agustus," tambah Wiku.(lyn/tau/byu/jpg)

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari