JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Keputusan pemerintah menunda pembahasan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (HIP) disambut positif oleh parlemen. Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin mengatakan pihaknya mengikuti sikap pemerintah untuk menunda pembahasan. Sebab regulasi tidak mungkin dibahas sepihak oleh DPR tanpa persetujuan dari eksekutif.
"Kita ikuti pemerintah saja," kata Azis Syamsuddin di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (17/6).
Disampaikan Azis, RUU HIP masih dalam tahap harmonisasi draf di badan legislasi (Baleg) DPR. Sejauh ini belum masuk dalam tahap pembahasan. Maka keputusan penundaan, ujar dia, tidak perlu disampaikan dalam rapat resmi di DPR. Pemerintah juga tidak perlu mengirim surat permintaan penundaan. Sebab sampai sekarang belum ada surat presiden (surpres) terkait pembahasan RUU tersebut.
"Setelah ini saya akan kroscek lagi proses di Baleg," papar wakil ketua umum Golkar itu.
Penyataan serupa juga disampaikan Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad. Sebagai rumah rakyat, kata dia, parlemen terbuka untuk mendengar seluruh masukan dari masyarakat. Terutama ormas keagamaan.
"Kami mendengar semuanya," ujarnya.
Dasco mengklaim belum ada pembahasan secara teknis soal RUU HIP di DPR. Namun diakuinya, RUU itu memang sudah resmi menjadi usulan inisiatif DPR yang disahkan dalam rapat paripurna 12 Mei lalu. RUU itu disebut-sebut dimotor oleh Fraksi PDIP. "Tapi kan belum dibahas," elak Dasco.
Dalam pembahasan regulasi, pihaknya berkomitmen terus mendengarkan aspirasi dan kepentingan publik. Penundaan, ujar Dasco, juga akan dimanfaatkan untuk menjaring pandangan sebelum melanjutkan pembahasan. Lebih jauh disampaikan, konsentrasi DPR dan pemerintah saat ini adalah menangani pandemi Covid-19.
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengapresiasi dan mendukung langkah pemerintah dan DPR yang memutuskan untuk menunda pembahasan RUU HIP. Menurut dia, penundaan itu bisa meredam berbagai pro kontra yang timbul di masyarakat. Apalagi, saat ini suasana kebatinan bangsa Indonesia sedang fokus menghadapi pandemi Covid-19. Sudah sepatutnya seluruh konsentrasi pemerintah dan berbagai elemen bangsa ditujukan untuk menghadapi persoalan tersebut.
Bamsoet, sapaan akrab Bambang Soesatyo mengatakan, agar tidak menimbulkan syak wasangka dan persepsi negatif di masyarakat, sebaiknya DPR dan pemerintah menyerap aspirasi public. Yakni dengan mendatangi berbagai ormas yang mewakili berbagai suara publik.
"Mulai dari ormas keagamaan sampai ormas kebangsaan," terang. Menurutnya, berbagai kritik maupun pandangan tentang RUU HIP yang beredar di masyarakat harus mampu diserap pemerintah bersama DPR dengan bijaksana melalui dialog terbuka, sehingga timbul saling kesepahaman.
Mantan Ketua DPR RI itu menyatakan, jika nanti RUU tersebut masih akan dilanjutkan,yaitu dengan perubahan yang fundamental dan substansial, maka dia sebagai pimpinan MPR akan ikut mengawal pembahasan tersebut. Dia tidak keberatan, jika RUU itu dimaksudkan untuk memperkuat kedudukan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Asalkan tidak mendegradasi Pancasila sebagai ideologi.
Legislator asal Dapil Jawa Tengah itu mendukung adanya payung hukum yang bisa memperkuat lembaga BPIP. Yaitu, berupa undang-undang yang bersifat teknis, hanya mengatur tentang pedomaan pembinaan ideologi Pancasila.
"Bukan Undang-Undang tentang Haluan Ideologi Pancasila seperti yang ada sekarang," tegas dia.
Dia pun berharap, dalam menyusun daftar inventaris masalah (DIM) nanti, pemerintah bisa mendengarkan aspirasi masyarakat, dan mengembalikan substansi muatan hukum RUU HIP saat ini menjadi RUU Pembinaan Ideologi Pancasila (PIP). Tanpa tafsir-tafsir lain yang sudah menjadi konsesus kebangsaan dan kesepakatan para pendiri bangsa.
Bamsoet juga sepakat terhadap pentingnya pencantuman TAP MPRS No XXV/MPRS/1966 ke dalam konsideran RUU. Pelarangan komunisme di Indonesia bersifat final, karena berdasarkan TAP MPR No I Tahun 2003. Jadi, tidak ada ruang hukum untuk mengubah atau mencabut TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966. Dengan demikian, lanjut mantan Ketua Komisi III itu, tidak akan ada lagi praduga dari berbagai kalangan bahwa RUU tersebut tidak mengindahkan pelarangan komunisme yang bisa membuka ruang bagi bangkitnya komunisme. Permasalahan itu seharusnya sudah selesai dan tidak perlu menjadi momok.
"Jika semua pihak menghormati konsensus kebangsaan yang ditetapkan melalui TAP MPR," tegasnya.
Setelah mengumumkan Presiden tidak akan mengirim surat presiden (supres) kepada DPR terkait RUU HIP, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mohammad Mahfud MD menerima sejumlah pimpinan organisasi keagamaan di kantornya, Rabu 17/6). Termasuk di antaranya Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Wakil Sekretaris Jenderal MUI Pusat Najamuddin Ramli mengapresiasi respons pemerintah.
"Sensitif dan cepat merespons aspirasi masyarakat," kata dia. Keputusan menunda membahas RUU HIP, lanjut dia, sudah tepat. Sebab, banyak pihak mengkritik bahkan menolak RUU tersebut. Jika tidak cepat merespons, dia khawatir kondisi semakin panas.
Serupa dengan Najamuddin, Ketua Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) Gomar Gultom juga menyampaikan apresiasi kepada pemerintah yang bersikap tegas. Menurut dia, undang-undang terkait dengan ideologi memang sensitif. Sehingga harus ekstra hati-hati.
"Langkah pemerintah sudah sangat baik," kata dia.
Menjadi lebih baik lagi lagi lantaran pemerintah tidak hanya meminta DPR menunda pembahasan RUU HIP, melainkan turut mendorong DPR untuk mengkaji lebih jauh RUU tersebut.
"Kami menolak segala bentuk pelemahan dan mendukung penguatan Pancasila dengan cara yang tepat," ungkap perwakilan Konferensi Waligereja Indonesia, Heri Wibowo.
Dalam pertemuan kemarin, Mahfud juga menerima perwakilan PBNU, ICMI, Pertu, PUI, PHDI, Walubi, Permabudhi, MBI, dan Matakin. Semuan organisasi keagamaan tersebut menyatakan dukungan terhadap langkah-langkah yang diambil pemerintah. "Kami menolak semua yang ingin melemahkan Pancasila," tegas Sugianto yang mewakili Permabudhi.
Di bagian lain, Demokrat dan PKS meminta agar RUU HIP sebaiknya dicabut dari prolegnas. Ketua Umum Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menegaskan pihaknya sejak awal menarik diri pembahasan RUU HIP di badan legislasi (Baleg) DPR. Selain tidak ada urgensinya, juga pembahasan tidak tepat waktu saat masyarakat fokus menangani pandemi Covid-19.
"Substansinya tidak sejalan dengan jalan pikirann politik Partai Demokrat," katanya melalui pernyataan tertulis, kemarin.
Dari sisi substansi, menurut AHY, RUU tersebut mengesampingkan aspek historis, filosofis, yuridis dan sosiologis Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara. Indikator paling sederhana adalah tidak dimasukkannya TAP MPRS Nomor XXV/1966 sebagai landasan konsideran. Padahal TAP MPRS tersebut, sambung dia, menjadi landasan filosofis bagaimana Pancasila menjaga persatuan bangsa dari kelompok faham komunisme. Selain itu, upaya memeras Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila, bertentangan dengan Pancasila seutuhnya.
AHY juga menilai RUU HIP memicu tumpang tindih dalam sistem ketatanegaraan. Pancasila sebagai landasan pembentukan UUD 1945 justru diatur dengan UU.
"Ini membuat Pancasila menjadi sekadar aturan teknis. Tidak lagi menjadi sumber nilai kebangsaan," paparnya.
Lebih jauh dikatakan, pembahasan RUU HIP bisa mengalihkan perhatian masyarakat untuk lebih fokus dalam penanganan pandemi Covid-19 yang belum mereda.
"Dengan alasan ini saya tegaskan RUU ini tidak urgen untuk dibahas ke tahap berikutnya," imbuh putra sulung mantan presiden SBY itu.
Wakil Ketua Majelis Syuro PKS Hidayat Nur Wahid meminta seharusnya RUU HIP tidak cuma ditunda. Tetapi sebaiknya dicabut dari prolegnas dan dihentikan pembahasannya.
Menurutnya, itu sesuai dengan permintaan ormas-ormas keagamaan dan purnawirawan TNI/Polri. Dia khawatir jika hanya ditunda, bisa menimbulkan bom waktu. Di sisi lain tidak akan menghentikan keresahan di tengah publik.
"Semua ormas sudah sampaikan sikap. Intinya hentikan pembahasan karena banyak persoalan mendasar dalam RUU ini," papar Hidayat.(mar/lum/syn/jpg)