JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Upaya untuk bisa secepatnya mendapatkan obat bagi pasien Covid-19 kandas. Uji coba klinis pertama remdesivir gagal. Padahal, obat tersebut digadang-gadang sebagai kandidat utama untuk menyelamatkan pasien. Kegagalan itu terpampang dalam dokumen yang secara tidak sengaja diungkap Badan Kesehatan Dunia (WHO).
Dilansir BBC, WHO mengunggah dokumen detail penelitian tersebut di pusat data uji klinis mereka. Di dalamnya terungkap bahwa para peneliti mempelajari 237 pasien yang dipilih secara random. Sebanyak 158 orang diberi remdesivir, sedangkan 79 sisanya juga diinjeksi dengan plasebo. Itu adalah obat tanpa isi. Tujuannya hanya agar secara psikologis pasien merasa juga diberi obat yang sama.
Setelah sebulan, 13,9 persen pasien yang menerima remdesivir meninggal dunia. Itu lebih tinggi dibanding pasien yang disuntik plasebo, yaitu hanya 12,8 persen. Uji coba itu juga dihentikan lebih cepat dari jadwal karena efek samping yang ditimbulkan oleh remdesivir.
"Obat itu tidak meningkatkan kondisi pasien maupun mengurangi patogen yang muncul di aliran darah," bunyi laporan tersebut. Setelah tersebar, WHO langsung menghapusnya. Mereka menyatakan bahwa itu secara tidak sengaja terunggah.
Gilead Sciences yang memproduksi obat tersebut membantah unggahan WHO. Menurut mereka, penelitian dihentikan karena rendahnya pendaftar sehingga secara statistik menjadi tidak bermakna. Karena penelitian belum selesai, tidak bisa ditarik kesimpulan. Versi perusahaan asal AS itu, remdesivir cukup bermanfaat bagi mereka yang diobati dini.
Sumber: JawaPos.com
Editor: Erizal
JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Upaya untuk bisa secepatnya mendapatkan obat bagi pasien Covid-19 kandas. Uji coba klinis pertama remdesivir gagal. Padahal, obat tersebut digadang-gadang sebagai kandidat utama untuk menyelamatkan pasien. Kegagalan itu terpampang dalam dokumen yang secara tidak sengaja diungkap Badan Kesehatan Dunia (WHO).
Dilansir BBC, WHO mengunggah dokumen detail penelitian tersebut di pusat data uji klinis mereka. Di dalamnya terungkap bahwa para peneliti mempelajari 237 pasien yang dipilih secara random. Sebanyak 158 orang diberi remdesivir, sedangkan 79 sisanya juga diinjeksi dengan plasebo. Itu adalah obat tanpa isi. Tujuannya hanya agar secara psikologis pasien merasa juga diberi obat yang sama.
- Advertisement -
Setelah sebulan, 13,9 persen pasien yang menerima remdesivir meninggal dunia. Itu lebih tinggi dibanding pasien yang disuntik plasebo, yaitu hanya 12,8 persen. Uji coba itu juga dihentikan lebih cepat dari jadwal karena efek samping yang ditimbulkan oleh remdesivir.
"Obat itu tidak meningkatkan kondisi pasien maupun mengurangi patogen yang muncul di aliran darah," bunyi laporan tersebut. Setelah tersebar, WHO langsung menghapusnya. Mereka menyatakan bahwa itu secara tidak sengaja terunggah.
- Advertisement -
Gilead Sciences yang memproduksi obat tersebut membantah unggahan WHO. Menurut mereka, penelitian dihentikan karena rendahnya pendaftar sehingga secara statistik menjadi tidak bermakna. Karena penelitian belum selesai, tidak bisa ditarik kesimpulan. Versi perusahaan asal AS itu, remdesivir cukup bermanfaat bagi mereka yang diobati dini.
Sumber: JawaPos.com
Editor: Erizal