JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membacakan dakwaan Sofyan Basir di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (24/6). Dalam dakwaan itu, jaksa mendakwa Dirut (nonaktif) PLN tersebut memberikan kesempatan dan fasilitas untuk Eni Maulani Saragih dan Johannes B Kotjo melakukan tindak pidana korupsi terkait proyek PLTU Mulut Tambang Riau 1.
Jaksa KPK Budi Sarumpaet menyebut Sofyan memfasilitasi pertemuan antara Eni, Idrus Marham, dan Kotjo dengan jajaran direksi PT PLN. Pertemuan itu guna mempercepat proses kesepakatan proyek independent power producer (IPP) PLTU RIAU 1 antara PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PT PJBI) dengan Blackgold Natural Resources dan China Huadian Engineering yang dibawa Kotjo.
“Padahal terdakwa mengetahui Eni dan Idrus akan mendapat fee sebagai imbalan dari Kotjo,†kata Budi dalam sidang yang dimulai pukul 10.45 WIB tersebut.
Di persidangan sebelumnya, Eni yang kala itu menjabat Wakil Ketua Komisi VII DPR dari Fraksi Golkar dan Idrus sebagai Sekjen Partai Golkar didakwa menerima uang secara bertahap dari Kotjo yang seluruhnya berjumlah Rp4,75 miliar.
Secara umum, rangkaian perbuatan Sofyan dalam dakwaan itu sudah pernah terungkap di persidangan Eni, Idrus dan Kotjo. Misal, pada awal 2017, Sofyan mengajak dua Direksi PLN, Supangkat Iwan Santoso dan Nicke Widyawati, bertemu dengan Eni dan Kotjo di Hotel Fairmont Jakarta. Dalam pertemuan itu, Eni dan Kotjo meminta agar proyek PLTU Riau 1 tetap dicantumkan dalam rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) PLN tahun 2017.
“Kemudian terdakwa (Sofyan) meminta Nicke (sekarang menjabat Dirut Pertamina) untuk menindaklanjuti permintaan tersebut,†ungkap jaksa KPK.
Setelah pertemuan itu, di 29 Maret 2017 IPP PLTU 2 x 300 Megawatt di Peranap, Indragiri Hulu, Riau akhirnya masuk RUPTL PLN 2017-2026. Dan telah disetujui masuk Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) PT Pembangkitan Jawa Bali (PT PJB). Rencana itu sebelumnya pernah diajukan Samantaka Batubara (anak usaha Blackgold) pada 1 Oktober 2015.
Dalam dakwaan itu jaksa KPK tidak merinci sejauh mana indikasi penerimaan janji atau fee PLTU Riau 1 untuk Sofyan seperti pernah diungkap di awal penyidikan Sofyan. Menurut jaksa, penerimaan janji itu akan dibuktikan dalam proses persidangan.
“Nanti kita lihat pembantuannya di mana,†ujarnya usai sidang.
Di dakwaan itu, jaksa menggunakan konstruksi pasal 12 huruf a juncto pasal 15 UU Pemberantasan Tipikor juncto pasal 56 ke 2 KUHP dan pasal 11 juncto pasal 15 UU Pemberantasan Tipikor juncto pasal 56 ke 2 KUHP. Dengan menggunakan konstruksi dua pasal itu, KPK menitikberatkan pada pembuktian peran Sofyan dalam membantu pelaku lain. Pun, jaksa berencana menghadirkan 4 ahli yang menjelaskan tentang klausul kesempatan dan fasilitas yang diberikan Sofyan kepada Eni dan Kotjo.
Sementara itu, pihak Sofyan kemarin langsung mengajukan nota keberatan (eksepsi) atas dakwaan yang dibacakan. Dalam eksepsi, penasihat hukum Sofyan, Susilo Ariwibowo menyebut penerapan pasal 15 UU Tipikor yang dihubungkan dengan pasal 56 ke 2 KUHP berlebihan. Sehingga membuat surat dakwaan kabur.
Pasal 15 yang dimaksud berbunyi setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana yang sama dengan sebagaimana dimaksud pasal 2, pasal 3, pasal 5 sampai dengan pasal 14.
Dalam penjelasan pasal itu disebutkan ketentuan ini merupakan aturan khusus karena ancaman pidana pada percobaan dan pembantuan tindak pidana pada umumnya dikurangi 1/3 (satu pertiga) dari ancaman pidananya. Sementara itu, pasal 56 ke 2 KUHP menyatakan dipidana sebagai pembantu sesuatu kejahatan : mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.
“Orang yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana atau keterangan yang didasarkan pada pasal 56 KUHP adalah sama artinya dengan orang yang melakukan pembantuan atau pembuat pembantu seperti yang dimaksud dalam Pasal 15,†kata Susilo.
PH Sofyan menganggap perbedaan di antara dua pasal itu adalah terkait dengan ancaman hukumannya. Pasal 15 UU Tipikor lebih berat daripada pasal 56 KUHP. Menurut pasal 57 ayat (1) KUHP, hukuman pokok yang terberat yang dapat dijatuhkan terhadap suatu kejahatan pada perbuatan memberi bantuan lamanya dikurangi dengan sepertiga.
“Hal ini telah membingungkan terdakwa Sofyan dan penasihat hukumnya di dalam pemahaman dugaan perbuatan pembantuan yang dituduhkan kepada terdakwa, sehingga menyulitkan dalam melakukan pembelaan,†jelas tim PH Sofyan.
Mereka pun meminta majelis hakim membatalkan dakwaan tersebut. Dan membebaskan Sofyan dari seluruh dakwaan penuntut umum.(tyo/jpg)