Sabtu, 23 November 2024
spot_img

Provokasi Cina di Laut Natuna karena Kaya Cadangan Migas

JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Peneliti Alpha Research Database Indonesia Ferdy Hasiman, menilai Cina tak boleh mengambil sejengkal pun wilayah Indonesia, termasuk perairan Natuna. Sebab, Natuna bukan hanya kaya potensi perikanan tetapi juga minyak dan gas.

"Potensi ini tentu akan menjadi tumpuan harapan bangsa jika Indonesia ingin berdaulat di sektor energi pada masa depan. Saat ini saja, Indonesia sudah mengimpor gas dan industri nasional mulai mengeluh karena harga gas industri mahal," ujar Ferdy di Jakarta, Kamis (9/1).

Ferdy menilai, tanpa mengamankan pasokan dan lapangan gas nasional, Indonesia akan menjadi importir. Karena itu, sebuah imperative bagi pemerintah Jokowi untuk menegaskan kembali kedaulatan wilayah di perairan Natuna.

"Di wilayah Natuna ada blok minyak dan gas terbesar, Blok East Natuna. Blok ini belum dikembangkan karena terbentur masalah geopolitik, masalah teknis dan biaya investasi pengembangan gas yang membutuhkan biaya besar," ucapnya.

Baca Juga:  Dewan Minta Program Rp72 M untuk Influencer Dikaji Ulang

Ferdy melanjutkan, Blok East Natuna sebelumnya sering disebut blok Natuna D-Alpha. Blok ini dikelola perusahaan minyak dan gas negara, Pertamina (Persero) bermintra dengan ExxonMobil (AS) dan ENI (Italia).

Namun, karena karbondioksida (CO2) di Blok East Natuna tinggi, sekitar 70 persen, mengakibatkan satu per satu mitra Pertamina hengkang dari blok itu.

Awalnya ENI keluar, sementara ExxonMobil sampai sekarang masih menunggu kepastian fiscal (tax holiday dan revenue split) dari kementerian keuangan.

"Tingginya CO2 di East Natuna inilah yang membuat beberapa perusahaan migas asing hengkang karena membutuhkan teknologi tinggi untuk memisahkan minyak dan gas dari CO2," katanya.

Ferdy juga mengatakan, pemerintah Jokowi perlu mengundang perusahaan-perusahaan lain untuk mengembangkan potensi migas di East Natuna. Seperti Petronas (Malaysia), Total E&P (Prancis) plus ExxonMobil, dengan porsi Pertamina tetap dominan di atas 50 persen.

Baca Juga:  Asep Darmawan Resmi Jabat Kapolres Kampar

Ferdy juga mengatakan, pemerintah Jokowi perlu mengundang perusahaan-perusahaan lain untuk mengembangkan potensi migas di East Natuna. Seperti Petronas (Malaysia), Total E&P (Prancis) plus ExxonMobil, dengan porsi Pertamina tetap dominan di atas 50 persen.

"Untuk itu, pemerintahan Jokowi perlu tegas berhadapan dengan China terkait dengan Natuna. Natuna adalah primadona energi nasional di masa depan yang belum dikembangkan," pungkas Ferdy. (gir)

Sumber: Jpnn.com
Editor: Erizal

JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Peneliti Alpha Research Database Indonesia Ferdy Hasiman, menilai Cina tak boleh mengambil sejengkal pun wilayah Indonesia, termasuk perairan Natuna. Sebab, Natuna bukan hanya kaya potensi perikanan tetapi juga minyak dan gas.

"Potensi ini tentu akan menjadi tumpuan harapan bangsa jika Indonesia ingin berdaulat di sektor energi pada masa depan. Saat ini saja, Indonesia sudah mengimpor gas dan industri nasional mulai mengeluh karena harga gas industri mahal," ujar Ferdy di Jakarta, Kamis (9/1).

- Advertisement -

Ferdy menilai, tanpa mengamankan pasokan dan lapangan gas nasional, Indonesia akan menjadi importir. Karena itu, sebuah imperative bagi pemerintah Jokowi untuk menegaskan kembali kedaulatan wilayah di perairan Natuna.

"Di wilayah Natuna ada blok minyak dan gas terbesar, Blok East Natuna. Blok ini belum dikembangkan karena terbentur masalah geopolitik, masalah teknis dan biaya investasi pengembangan gas yang membutuhkan biaya besar," ucapnya.

- Advertisement -
Baca Juga:  Bertengkar dengan Kekasih, Cewek Sayat Tangan dan Leher

Ferdy melanjutkan, Blok East Natuna sebelumnya sering disebut blok Natuna D-Alpha. Blok ini dikelola perusahaan minyak dan gas negara, Pertamina (Persero) bermintra dengan ExxonMobil (AS) dan ENI (Italia).

Namun, karena karbondioksida (CO2) di Blok East Natuna tinggi, sekitar 70 persen, mengakibatkan satu per satu mitra Pertamina hengkang dari blok itu.

Awalnya ENI keluar, sementara ExxonMobil sampai sekarang masih menunggu kepastian fiscal (tax holiday dan revenue split) dari kementerian keuangan.

"Tingginya CO2 di East Natuna inilah yang membuat beberapa perusahaan migas asing hengkang karena membutuhkan teknologi tinggi untuk memisahkan minyak dan gas dari CO2," katanya.

Ferdy juga mengatakan, pemerintah Jokowi perlu mengundang perusahaan-perusahaan lain untuk mengembangkan potensi migas di East Natuna. Seperti Petronas (Malaysia), Total E&P (Prancis) plus ExxonMobil, dengan porsi Pertamina tetap dominan di atas 50 persen.

Baca Juga:  LGBT Tidak Boleh Jadi Pelamar CPNS Kejaksaan jadi Polemik

Ferdy juga mengatakan, pemerintah Jokowi perlu mengundang perusahaan-perusahaan lain untuk mengembangkan potensi migas di East Natuna. Seperti Petronas (Malaysia), Total E&P (Prancis) plus ExxonMobil, dengan porsi Pertamina tetap dominan di atas 50 persen.

"Untuk itu, pemerintahan Jokowi perlu tegas berhadapan dengan China terkait dengan Natuna. Natuna adalah primadona energi nasional di masa depan yang belum dikembangkan," pungkas Ferdy. (gir)

Sumber: Jpnn.com
Editor: Erizal

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari