Berbagai upaya penanganan dan penangkalan virus corona yang saat ini telah merebak ke berbagai negara telah dilansir pemerintah. Namun penanggulangan dalam bidang ekonomi nampaknya belum mendapat sentuhan khusus dan terencana dengan baik. Berbeda dengan Malaysia. Dalam dinamika dan kemelut politik yang lagi memanas, Mahathir Mohamad selaku perdana menteri sementara setelah secara resmi mengundurkan diri masih merilis Paket Ekonomi 2020 sebagai antisipasi mewabahnya virus corona yang berdampak berat bagi perekonomian. Lalu di Riau sebaiknya berbuat apa?
Dampak buruk Covid-19 ini memang mulai terasa. Nilai rupiah terhadap dolar Amerika ringsek seketika. Saat ini sudah menurun hingga Rp14.530 per dolar. Nilai terendah sejak awal tahun 2020 bahkan sejak setahun terakhir. Pelemahan mata uang terhadap dolar Amerika ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Won Korea turun sebesar 5.07 persen. Bath Thailand melorot sampai 6,42 persen, dolar Singapore turun 3,76 persen, dan Ringgit Malaysia terdepresi sebesar 2,91 persen. Resonansi Covid- 19 juga telah mengguncang lantai bursa. IHSG turun tajam dari 6.000 menjadi 5.200. Dua indikator ekonomi di atas tentunya sudah cukup memberi sinyal adanya guncangan ekonomi akibat mewabahnya virus tersebut.
Bagi Riau sendiri yang perekonomiannya dari sudut pengeluaran, masih sebahagian besar dipengaruhi oleh konsumsi rumah tangga, dampaknya akan terasa cukup signifikan. Dorongan konsumsi rumah tangga selama ini sangat dipengaruhi oleh harag tandan buah sawit (TBS). bila harga TBS naik maka daya beli masyarakat akan meningkat. Namun bila terjadi penurunan harga TBS maka daya beli masyarakat langsung turun dan pertumbuhan ekonomi juga akan merosot. Penurunan daya beli masyarakat ini juga akan memberi efek negatif kepada sektor perdagangan, sektor jasa dan sektor-sektor lain yang berkait, seperti transportasi, hotel dan restoran serta jasa lainnya.
Tujuan utama komoditas ekspor Riau adalah Cina yang kontribusinya mencapai 18,20 persen. Komoditas utama yang diekspor kenegara tersebut adalah CPO sebagai turunan utama TBS. India berkontribusi dalam ekspor Riau sebesar 12,11 persen dan komoditas utama yang diekspor juga CPO. Termasuk Belanda dengan kontribusi 7,05 persen dan Malaysia sebesar 5,07 persen. Bila negara-negara tersebut terpaksa membatalkan impor CPO atau bahkan paling tidak mengurangi volume ekspornya maka harga TBS akan anjlok. Tanda-tanda anjloknya ekspor sawit dan turunnya harga TBS sudah mulai terasa. Pendapatan petani sawit langsung akan melorot dan konsumsi rumah tangga dalam struktur perekonomian Riau akan terkoreksi cukup tajam. Untuk mengalihkan peran kepada sektor lain juga sulit karena kendala transportasi dan pembatasan penduduk asing baik masuk maupun ke luar negeri terjadi di berbagai belahan dunia.
Ini memberi indikasi bahwa untuk tahun 2020 dan bahkan jika persoalan Covid-19 ini tidak tertangani segera maka dinamika perekonomian Riau akan mengalami kemunduran. Bahkan harapan untuk memenuhi ekspor ikan patin sebanyak 400 ton per hari ke Cina sebagaimana yang sudah dilansir Gubernur Riau tentu akan menjadi pepesan kosong belaka. Perlu ada kebijakan khusus utnuk menghadapinya. Sudah saatnya gubernur melakukan pertemuan khusus dengan para bupati dan wali kota dengan melibatkan paling tidak ketua-ketua fraksi yang ada di DPRD Provinsi dan kabupaten/kota untuk menyusun contingency plan dalam menampik dampak Covid 19 ini. Kebijakan pembangunan secara khusus harus ditelorkan agar rakyat tidak lebih sengsara. Baik kebijakan menangkal merebaknya virus tersebut maupun kebijakan ekonomi yang mungkin sama menyakitkan dari virus itu sendiri bila tak tertangani dengan baik.
Beberapa hal mungkin perlu diperhatikan. Pertama, menelusuri keperluan dasar rakyat yang mau tidak mau harus dipenuhi. Tidak lama lagi masyarakat Islam akan menghadapi Ramadan dan Idul Fitri. Bila segala keperluan pokok tidak tersedia dengan baik dan lancar maka akan terjadi kenaikan harga yang berlipat ganda. Tanpa ada pengaruh Covid-19 saja persoalan harga-harga menjelang Ramadan dan lebaran senantiasa berdampak buruk terhadap kesejahteraan masyarakat. Pemerintah provinsi perlu melakukan rapat terpadu dengan semua dinas terkait provinsi dan seluruh kabupaten/kota seperti perdagangan, perhubungan dan industri.
Kedua, mendorong kinerja yang lebih tinggi bagi sektor-sektor produksi yang dapat menghasilkan komoditas dalam jangka waktu pendek sebagai substitusi impor. Terutama sekali komoditas pangan, seperti sayur-sayuran, umbi-umbian, beras, jagung, dan buah-buahan. Sub-sektor peternakan dan perikanan digesa agar bisa menghasilkan pangan mandiri dan mengurangi ketergantungan dari impor. Ketiga, memperkuat industri rumah tanngga ke arah produsen ekspor sebagai suplementary livelihood dan diversifikasi pendapatan masyarakat. Banyak sekali di berbagai kabupaten produksi industry rumah tangga yang layak dikembangkan dengan sentuhan teknologi dan jaringan pasar yang kuat.
Keempat, mempertajam skala prioritas program pembangunan yang telah dituangkan dalam APBD agar benar-benar memiliki sentuhan jangka pendek terhadap kesiapan daerah menanggulangi segala kemungkinan buruk dari bencana yang muncul. Terakhir, tetap menjaga terlaksananya program dengan pengawasan dan pengendalian yang akuran dan terukur sehingga efisiensi dan efektivitasnya semakin optimal.
Seperti halnya persoalan kebakaran hutan dan lahan maka kebijakan menyangkut dampak perekonomian dari persoalan Covid-19 ini haruslah ditangani secara serius dan khusus. Memperebutkan kursi ketua partai boleh saja tetap berjalan karena itu diperlukan bagi penguatan politik dan implementasi kebijakan. Merespon secara dini dampak-dampak dinamika ekonomi yang terjadi baik karena faktor ekonomi itu sendiri maupun karena faktor-faktor non-ekonomi, juga sangat urgen dilakukan agar rakyat tidak hanya menerima bencana dan dampak-dampaknya. Covid-19 menjalar begitu cepat dan masif. Kerusakan ekonomi yang ditimbulkannya juga menjalar secepat penularan virus itu sendiri. Jadi, janganlah sampai lengah. Ontah lah.***