JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Jejak digital kadang menyakitkan. Bahkan bisa membawa seseorang berurusan dengan aparat penegak hukum. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mengingatkan masyarakat supaya mewaspadai rekam jejak digital masing-masing. Jangan sampai menimbulkan penyesalan kemudian hari.
Pesan tersebut disampaikan Dirjen Aplikasi Telematika (Aptika) Kementerian Kominfo Samuel Abrijani Pangerapan. Dia menegaskan untuk mencegah dampak buruk dari rekam jejak digital, perlu adanya peningkatan literasi digital di tengah-tengah masyarakat.
“Diperlukan peran guru dalam membantu masyarakat Indonesia, supaya senantiasa waspada dalam rekam jejak digital,” kata Samuel dalam keterangannya, Rabu (20/7/2022).
Dia menekankan literasi digital masyarakat Indonesia perlu untuk terus ditingkatkan. Termasuk kepada para siswa di lembaga pendidikan.
Sebab saat ini para siswa sudah akrab dengan gadget serta beragam aplikasi media sosial. Kuncinya guru berperan supaya anak-anak, dan masyarakat pada umumnya, bisa lebih bijak dalam berinteraksi di media sosial atau sejenisnya.
Berdasarkan data Microsoft, Indonesia termasuk dalam kuartil empat atau terbawah dalam Indeks Keadaban Digital (Digital Civility Index). Indonesia berada pada tingkat ke-29 dari 32 negara.
Kemudian UNESCO menyebutkan, Indonesia menempati peringkat ke-60 dari 61 negara soal literasi dunia. Dengan minat baca sangat rendah sebesar 0,001 persen, atau hanya 1 dari 1.000 orang Indonesia yang rajin membaca. Literasi digital serta budaya baca masyarakat Indonesia perlu terus ditingkatkan.
Pentingnya kewaspadaan terhadap rekam jejak digital juga dibahas dalam forum Webinar Makin Cakap Digital 2022 bertema Waspada Rekam Jejak Digital di Internet. Kegiatan yang digelar di Rembang pekan lalu itu, menyasar kalangan guru-guru.
Alexander Zulkarnain selaku Executive Director Young on Top Holding menjelaskan tentang perilaku berkomentar di media sosial. Komentar yang diketik, adalah salah satu dari rekam jejak digital. Ia mengungkap mengenai perilaku berkomentar di internet adalah hak semua orang. Namun tetap menggunakan akal dan budaya.
Ketika ingin menulis komentar atau membuat kiriman, bukan berarti boleh menyakiti hati orang lain.
“Komentar dapat memberi pengaruh bagi diri sendiri dan orang lain. Berikan komentar sesuai dengan konteks. Jika tidak suka, tidak perlu menyerang,” kata dia.
Alexander mengatakan, tidak sedikit pengguna media sosial yang ingin membuat orang lain merasa kesal, marah, dan memicu pertengkaran. Di lain pihak, banyak yang memilih diam atau tidak membalas komentar. Dengan tujuan tidak ingin menambah besar potensi perpecahan.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Eka G Putra