JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Perwakilan 196 negara datang ke Madrid, Spanyol, sejak 2 Desember untuk membahas langkah pencegahan perubahan iklim. Sayang, target Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP) 25 gagal tercapai. Meski sudah mengulur waktu, peserta konferensi tak bisa mencapai kata sepakat soal solusi terhadap pemanasan global.
Kemarin (15/12) Menteri Lingkungan Hidup Cile Carolina Schmidt menunjukkan rasa frustrasi. Seharusnya rapat final COP 25 berakhir Jumat lalu. Namun, karena cekcok antarkubu, kesepakatan masih belum dicapai sampai Ahad dini hari waktu setempat.
"Saya meminta Anda semua mengerahkan seluruh kekuatan dan toleransi agar kesepakatan ini bisa tercapai. Rakyat negara Anda memerlukan ini," ungkap sang ketua konferensi seperti yang dilansir BBC.
Konferensi perubahan iklim tahun ini semestinya membicarakan tiga isu besar. Pertama, komitmen baru pemangkasan emisi karbon sebelum dekade 2010–2020 berakhir. Kedua, komitmen untuk membantu negara yang terkena dampak perubahan iklim. Ketiga, merampungkan mekanisme pasar karbon yang diawali COP 21 di Paris empat tahun lalu.
Setelah perdebatan panjang, peserta perundingan hanya setuju untuk menyerahkan komitmen baru mereka di COP 26 Glasgow tahun depan. Sementara itu, mekanisme pasar karbon kembali tertunda.
Sejak awal, jalannya konferensi memang mengecewakan. Negara anggota, terutama negara besar, sibuk membahas kepentingan sendiri.
"Ini adalah ulah AS. Mereka berusaha menghalangi upaya dunia untuk membantu kehidupan yang dihancurkan perubahan iklim," ujar Harjeet Singh, ketua bagian iklim di LSM Action Ad, kepada Agence France-Presse. AS sudah memutuskan untuk keluar dari perjanjian Paris tahun depan.
Selain itu, Alliance of Small Island States (AOSIS) juga menuding Australia, Kanada, Rusia, India, Brasil, dan Tiongkok sebagai kelompok anti pencegahan perubahan iklim.
"Saya seharusnya pulang dan berkata kepada anak-anak saya bahwa kami sudah sepakat untuk menyelamatkan masa depan mereka," ujar Tina Stege, perwakilan dari Marshall Islands.
Brasil ingin menghitung hutan penyerap karbon mereka sebagai target pengurangan emisi. Di saat yang sama, mereka juga ingin menjual hutan sebagai kredit karbon ke negara lain. Hal tersebut tentu ditolak negara lain karena dianggap penghitungan ganda. Di pihak lain, India dan Tiongkok bersikeras bahwa kesepakatan sebelum COP 21 harus dikembalikan. Sebelum COP 21, hanya negara-negara maju yang diwajibkan untuk mengurangi emisi.
"Negara-negara yang bertanggung jawab atas 80 persen emisi global terus diam. Sebaliknya, negara-negara kecil justru berusaha membuat perubahan," ungkap Direktur Natural Resource Defense Council Jake Schmidt.
Sumber : Jawapos.com
Editor : Rinaldi