Site icon Riau Pos

Masih Ada Kesalahan Redaksional

JAKARTA (RIAUPOS.CO) — pemerintah akhirnya mengundangkan UU Cipta Kerja yang disahkan DPR 5 Oktober lalu. Presiden meneken UU tersebut Senin (2/11) lalu dan Menkum HAM mengundangkannya di hari yang sama, menjadi UU nomor 11 Tahun 2020. Masih banyak catatan terhadap UU tersebut. Baik dari sisi substansi maupun redaksional.

Dari sisi redaksional misalnya, masih ada kekeliruan dalam naskah UU dan penjelasannya setebal 1.187 halaman itu. Misalnya pada pasal 6 di halaman 6 yang berbunyi, peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (1) huruf a. Pasal 5 yang menjadi rujukan tidak memiliki substansi yang dimaksud. Karena seharusnya, pasal 6 merujuk pada pasal 4 huruf a.

Kesalahan redaksional itu langsung menjadi pembicaraan publik karena langsung muncul di awal. Tidak hanya itu, kesalahan juga muncul di Bab XI tentang Administrasi Pemerintahan untuk Mendukung Cipta Kerja. Tepatnya di halaman 757 yang berisi perubahan pasal 53 UU 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan di pasal.

Bunyi ayat 5, ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk penetapan keputusan dan/atau tindakan yang dianggap dikabulkan secara hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam perpres. Padahal, penetapan keputusan yang dianggap dikabulkan secara hukum disinggung di ayat (4). Artinya, rujukannya ada di ayat (4).Sementara ayat (3) menyinggung soal permohonan yang diproses melalui sistem elektronik.

Direktur Ekeskutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Gita Putri Damayana menyebutkan bahwa ini baru temuan awal. Ke depannya, kemungkinan besar akan ditemukan kesalahan-kesalahan lain yang secara teknis bisa mempengaruhi substansi.

"Kalau memantau, jangan-jangan akan lahir lagi dan ada temuan baru terus," ungkap Gita kepada Jawa Pos (JPG), kemarin (3/11).

Sebetulnya, menurut Gita, kesalahan redaksional ini bukan barang baru. Sebelumnya, peneliti PSHK sudah pernah menemukan kasus serupa dalam UU Pemda 32/2004. Pasal yang bermasalah itu kemudian dibawa ke MK untuk uji materi dan akhirnya dilakukan perbaikan.

"Yang mengerikannya di UU Ciptaker ini baru yang ketahuan sekarang dari 1807 pasal," lanjutnya. 

Gita menilai, kedua pasal yang ditemukan itu saja sudah menunjukkan buah dari proses penyusunan yang dipaksakan dan mengorbankan prinsip transparansi. Meski demikian, hal ini tidak akan berpengaruh pada UU yang sudah digugat ke Mahkamah Konsitusi. Sejak diketok palu oleh DPR, beberapa pihak masyarakat sipil sudah mengajukan uji materi ke MK. Kemudian diketahui ada beberapa perubahan teknis dalam UU tersebut. Namun, Gita menegaskan bahwa prosesnya berjalan secara paralel dan seharusnya tidak saling mempengaruhi. 

"Ini merupakan konsekuensi yang harus kita terima karena pembahasan yang ugal-ugalan tersebut," ujarnya. 

Terlebih ini menjadi pembuktian bagi MK untuk bisa melakukan pengawasan secara utuh terhadap UU yang sudah disahkan.  "Kalau dari awal MK sudah ikut dalam pembahasan, justru sistem perundang-undangan kita jadi kacau," lanjutnya.

Hal yang bisa dilakukan pemerintah saat ini, menurut PSHK, adalah dengan melakukan koreksi redaksional. Selain koreksi, Gita juga mendorong agar pemerintah menunda terlebih dahulu penerbitan peraturan turunan. Karena peraturan pokoknya belum tuntas dan beres. "Ini kan ada 400 lebih peraturan pelaksana, ini ditunda dulu sampai proses ini selesai di UU pokok," tegas Gita.

Selain itu, Gita juga membahas soal Perppu. Meski Presiden Jokowi telah meneken UU tersebut, secara hukum tetap bisa dikeluarkan Perppu untuk mengganti UU Ciptaker ini. "Kalau argumentasi hukum, untuk mengoreksi bisa. Tapi kalau dari politik, bisa panjang diskusinya," pungkasnya.

Menteri Sekretaris Negara Pratikno mengakui masih ada hal yang dia sebut sebagai kesalahan teknis penulisan di UU Ciptaker. Meskipun, menurut dia sejak menerima berkas dari DPR, pihaknya sudah me-review dan mendapati kesalahan teknis. Dan perbaikannya sudah disepakati dengan DPR.  "Kekeliruan tersebut bersifat teknis administratif sehingga tidak berpengaruh terhadap implementasi UU Cipta Kerja," terangnya kemarin (3/11). 

Dia menyebut kekeliruan itu menjadi catatan dan masukan bagi Kemensetneg terkait kendali kualitas RUU yang akan diundangkan. Tidak lama setelah UU Ciptaker diunggah di situs setneg.go.id, website tersebut mendadak tidak bisa diakses. Sepanjang pagi kemarin, publik yang hendak mengakses situs tersebut, termasuk koran ini harus gigit jari. Setelah percobaan kesekian kali, pukul 15.00 situs tersebut kembali normal dan UU Ciptaker bisa diunduh.

Sementara, dari sisi substansi, berbagai pihak di bidangnya masing-masing menyampaikan kritiknya. Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara menyebut, omnibus law malah menimbulkan celah korupsi terkait pembentukan lembaga pengelola aset (Sovereign Wealth Fund/SWF). Meski, memang lembaga tersebut sudah dibentuk di oleh negara-negara Skandinavia untuk mengelola aset mereka. Seperti di Norwegia, SWF mempunyai dua tujuan. Pertama, menyimpan hasil dari keuntungan industri minyak sebagai cadangan uang ketika negara mengalami krisis. Kedua, digunakan untuk berinvestasi di bidang lingkungan hidup, termasuk energi terbarukan.

Sedangkan di Indonesia hanya pengelolaan aset saja. "Kurang tepat ya untuk menarik investasi langsung (foreign direct investment/FDI), yang terjadi adalah pola penerbitan surat utang dengan jaminan aset pemerintah dan BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Ini yang berisiko tinggi apabila gagal bayar maka aset akan disita," kata Bhima dihubungi JPG malam tadi. 

Yang perlu dicermati, dalam UU cipta kerja pasal 158 ayat 4 menyebut, bahwa kerugian yang dialami lembaga bukan kerugian negara. Padahal, pada pasal 157 dikatakan, sumber investasi pemerintah pusat yang dilakukan oleh Lembaga dapat bersumber dari aset negara, BUMN, atau sumber lain yang sah. "Di sini ada celah merugikan keuangan negara dalam jangka panjang apabila nilai aset negara menurun karena salah kelola," ungkapnya. 

Catatan selanjutnya, pada pasal 161 tertulis, bahwa pemeriksaan, pengelolaan dan tanggung jawab keuangan lembaga dilakukan oleh akuntan publik yang terdaftar pada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Bhima menilai, bunyi aturan tersebut agak tricky. Padahal, hanya BPK yang bisa menentukan ada kerugian negara atau tidak. "Bagaimana bisa didefinisikan kerugian Negara kalau UU Cipta Kerja sudah mengunci ruang pengawasan yang baik?" ujar Bhima heran.

Buruh Tolak UU Ciptaker

Diundangkannya UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja ditanggapi buruh. Mereka meminta agar aturan ini dibatalkan. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) bersama buruh Indonesia secara tegas menyatakan menolak aturan itu. Organisasi itu meminta agar undang-undang tersebut dibatalkan atau dicabut.  "Setelah kami pelajari, isi undang-undang tersebut khususnya terkait klaster ketenagakerjaan hampir seluruhnya merugikan kaum buruh," kata Presiden KSPI Said Iqbal, kemarin.

Setelah menerima salinan UU No 11 Tahun 2020 khususnya klaster ketenagakerjaan, KSPI segera mengkaji. Maka terdapat banyak pasal yang merugikan buruh. Said membeberkan, berlakunya sistem upah murah sangat merugikan. Itu terlihat dari sisipan Pasal 88C Ayat 1 yang menyebutkan gubernur wajib menetapkan upah minimum provinsi. Lanjut pada Pasal 88C Ayat 2 yang menyebutkan gubernur dapat menetapkan upah minimum kabupaten atau kota dengan syarat tertentu. "Penggunaan frasa dapat dalam penetapan upah minimum kabupaten/kota (UMK) sangat merugikan buruh. Karena penetapan UMK bukan kewajiban, bisa saja gubernur tidak menetapkan UMK," ucapnya.

Said menambahkan, KSPI meminta agar UMK harus tetap ada tanpa syarat. Selain itu juga UMSK serta UMSP tidak boleh dhilangkan. Jika ini terjadi, maka akan berakibat tidak kepastian pendapatan akibat berlakunya upah murah. Undang-undang itu juga menghilangkan batas waktu kontrak. Menurut Said ini bisa menuebabkan adanya pegawai kontrak seumur hidupnya. "Dia menyatakan dalam UU No 13 Tahun 2003, PKWT atau karyawan kontrak batas waktu kontraknya dibatasi maksimal lima tahun dan tiga periode kontrak. UU No 11 Tahun 2020 mengapus Pasal 64 dan 65 UU No 13 Tahun 2003. Said juga menunjukkan undang-undang baru itu juga menghapus batasan lima jenis pekerjaan yang terdapat di dalam Pasal 66 yang memperbolehkan penggunaan tenaga kerja outsourcing. Sebelumnya diatur, tenaga outsourcing hanya untuk cleaning service, cattering, security, driver, dan jasa penunjang perminyakan. "Dengan tidak adanya batasan terhadap jenis pekerjaan yang boleh menggunakan tenaga outsourcing, maka semua jenis pekerjaan di dalam pekerjaan utama bisa menggunakan karyawan outsourcing," tutur Said.(byu/deb/han/lyn/jpg)

Exit mobile version