Site icon Riau Pos

Dongkrak Manufaktur Perlu Penerapan HGBT-Pengendalian Impor

Aktivitas pekerja quality control produk penyedap rasa di pabrik kawasan Mojokerto, Jatim, beberapa waktu lalu. PMI Manufaktur Indonesia berada dalam fase ekspansi selama 28 bulan berturut-turut. (PUGUH SUJIATMIKO/JPG)

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Para pelaku industri nasional optimistis dalam menjalankan usaha di tengah berbagai dampak geopolitik dan geoekonomi global. Kepercayaan diri tersebut tercermin dari capaian positif Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia yang dirilis oleh S&P Global. Pada Desember 2023 berada di posisi 52,2 atau naik 0,5 poin dibanding bulan sebelumnya yang menempati level 51,7.

‘’PMI Manufaktur Indonesia tetap berada dalam fase ekspansi selama 28 bulan berturut-turut. Capaian itu hanya Indonesia dan India yang mampu mempertahankan level di atas 50 poin selama lebih dari 25 bulan. Kinerja baik ini tentu harus kita jaga dan tingkatkan,’’ ujar Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita di Jakarta, Selasa (2/1).

Menperin mengemukakan bahwa kondisi sektor manufaktur di Indonesia terus membaik lantaran juga didukung dari beragam kebijakan strategis pemerintah. ‘’Laju industri manufaktur kita bisa lebih cepat di akhir tahun 2023. Kami juga optimistis di tahun 2024 bisa lebih baik lagi,’’ ucapnya.

Namun, Agus menyebutkan bahwa terdapat kebijakan yang belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan sektor industri. Antara lain, penerapan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT). Masih banyak perusahaan yang belum menerima manfaat harga gas 6 dolar AS per MMBTU. ‘’Pada 2023, hanya 76,95 persen di Jawa Bagian Barat atau hanya sekitar 939,4 BBTUD dibayar dengan harga 6,5 dolar AS per MMBTU, sisanya harus dibayar dengan harga normal sebesar 9,12 dolar AS per MMBTU,’’ bebernya.

Menperin menambahkan, kebijakan lain yang diperlukan adalah pengendalian impor.

‘’Kami meyakini, PMI kita bisa jauh lebih tinggi apabila pelaksanaan HGBT berjalan baik, dan pengendalian impor berjalan baik. Sebab, ada opportunity lost yang dihadapi sektor manufaktur kita akibat kedua hal tersebut. Selain itu, perlu didukung kebijakan untuk menjaga ketersediaan bahan baku sehingga sektor industri manufaktur kita tetap berproduksi dengan baik dalam memenuhi pasar domestik dan ekspor,’’ urainya.

Terpisah, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Febrio Kacaribu memandang, kinerja PMI masih mencatat ekspansi hingga saat ini. Selama pandemi sampai akhir tahun, manufaktur RI sangat diwarnai oleh dorongan nilai tambah, khususnya kebijakan hilirisasi sumber daya alam (SDA).

‘’Daya saing manufaktur ini akan coba kita perbaiki terus dan tingkatkan lagi. Supaya bisa bersaing secara global. Dalam hal ini juga tidak terlepas dari kebijakan-kebijakan strategis pemerintah khususnya untuk sektor-sektor yang memberi multiplier effect tinggi,’’ ujarnya pada konferensi pers di Jakarta, Selasa (2/1).

Febrio mencontohkan, sektor otomotif yang terbilang cukup kuat. Khususnya, pemanfaatan pada ekosistem green economy.(agf/dee/dio/jpg)

Exit mobile version