Site icon Riau Pos

Vaksinasi dan PPKM Harus Sejalan

vaksinasi-dan-ppkm-harus-sejalan

JAKARTA (RIAUPOS.CO) — LaporCovid-19 melakukan evaluasi terkait Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Masih ada pelanggaran yang terjadi. Di sisi lain, vaksinasi tetap berjalan dan ahli menyatakan adanya beberapa risiko yang wajar terjadi pada penerima vaksin.

Tim Laporan Warga LaporCovid-19 Yemmiko Happy menyatakan bahwa selama dua pekan terakhir lembaganya mengumpulkan laporan terkait PPKM. Ada 70 laporan yang masuk. Paling banyak pelanggaran di tempat publik.

"Banyak sekali tempat yang dibuka atau diizinkan, sehingga banyak warga yang berkumpul di sana," tuturnya dalam Webinar yang bertajuk Evaluasi Pelaksanaan PPKM yang dihelat oleh LaporCovid-19, Senin (25/1).

Dia mencontohkan kegiatannya adalah pernikahan dan pasar malam. Menurutnya, PPKM tidak efektif. Alasanya, jumlah laporan terus meningkat. Sebelum PPKM dilaksanakan ada 68 laporan. Selain itu, komunikasi risiko yang dilakukan pemerintah kurang baik.

"Pemerintah ini menunggu laporan dulu. Seharusnya pemerintah proaktif tanpa menunggu laporan dari warga," ujarnya.

Untuk itu Yemmiko menyarankan agar pembatasan lebih ketat. "3M dan 3T juga harus ditingkatkan," imbuhnya.

Sementara itu dalam kesempatan yang sama Juru Bicara Kemenkes tentang Vaksinasi Covid-19 Siti Nadia Tarmizi mengakui kanal-kanal untuk pelaporan Covid-19 masih ada masalah. Terutama terkait dengan kecepatan merespons.

"Namun semua ditindaklanjuti tapi Kemenkes memerlukan waktu," katanya.

Penerapan PPKM berjalan beriringan dengan vaksinasi. Sebab PPKM bertujuan untuk memberikan pembatasan pergerakan agar tidak ada penularan. Terutama ketika vaksinasi belum memenuhi target untuk herd immunity.

Nadia juga menjelaskan terkait vaksinasi. Di beberapa negara, ada reaksi pascaimunisasi. Misal di Norwegia ada beberapa lansia meninggal pascaimunisasi. Menurutnya pemerintah akan melihat apakah itu betul kejadian karena imunisasi.

"Yang saya tahu pihak Norwegia  sudah klarifikasi kasus tersebut bukan disebabkan oleh vaksin. Tapi ini akan menjadi catatan kita," ujarnya.

Menurutnya masyarakat juga harus melihat manfaat yang lebih besar terkait vaksinasi. Jika ada satu kejadian dari satu juta yang divaksin maka harus dilihat juga dampak yang didapat oleh populasi yang didapat.

"Makanya kita tidak buru-buru memberikan vaksin untuk lansia," kata Nadia.

Dalam kesempatan lain, Ketua Komnas Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) dr Hindra Irawan Satari SpA(K) menjelaskan bahwa vaksin merupakan produk biologi yang dimasukkan ke dalam tubuh manusia. Sehingga akan dipastikan terjadi reaksi setelah disuntikkan. Ada berbagai macam reaksi yang terjadi. Misalnya bengkak, demam, maupun reaksi lain seperti alergi. "Ini tergantung sensitivitas seseorang," ujarnya.

Salah satu kejadian yang biasa disoroti adalah syok anafilaktik. Kejadian ini merupakan syok akibat reaksi alergi yang berat. Dari satu juta dosis, terjadi sebanyak satu atau dua kasus.

"Anafilaktik dapat terjadi terhadap semua vaksin, terhadap antibiotik, terhadap kacang, terhadap nasi juga bisa, terhadap zat kimia juga bisa," katanya.

Reaksi anafilaktik tergolong ke dalam KIPI serius. Sehingga apabila terjadi KIPI, harus segera dilaporkan secara berjenjang. Nantinya Komnas KIPI akan menginvestigasinya. Reaksi anafilaktik pasca Vaksinasi Covid -19 telah diatur pemerintah dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 12 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Imunisasi. Dalam Permenkes tersebut tercantum anafilaktik sebagai upaya preventif apabila terjadi KIPI. Dalam pasal 1 nomor 8 disebutkan bahwa peralatan anafilaktik adalah alat kesehatan dan obat untuk penanganan syok anafilaktik.

"Sudah ada di Peraturan Menteri Kesehatan, sudah ada kit anafilaktik yang harus disediakan, sudah ada petunjuk mengenal gejalanya, sudah ada tanda, dan petunjuk untuk cara pelaksanaan vaksinasi," ucap Hindra.

Ketua Tim Riset Uji Klinis Vaksin Sinovac Prof Kusnandi Rusmil Sp.A(K) menegaskan bahwa kejadian anafilaktik pasti akan terjadi untuk penyuntikan skala besar. Sehingga fasilitas pelayanan kesehatan harus selalu siap mengantisipasi kemungkinan kejadian tersebut.

"Kalau kita lakukan vaksinasi 1 juta saja, satu atau dua orang akan pingsan," ungkapnya.

Kejadian ini yang dikhawatirkan akan menyebabkan orang awam ribut. "Padahal memang seperti itu. Jadi kita harus siap," ungkap Kusnandi.

Sejauh ini reaksi anafilaksis tidak ditemukan dalam pelaksanaan vaksinasi Covid-19 di Indonesia. Hanya ditemukan reaksi ringan semisal sering mengantuk seperti yang dialami oleh Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil dan Raffi Ahmad.

Kusnandi juga menjelaskan penelitian vaksin Covid-19 dari Sinovac masih terus dilakukan. Timnya akan terus mengamati 1.620 subjek uji klinis. Pertanyaan apakah vaksin ini harus diulang atau diulang dalam kurun waktu berapa lama akan terjawab saat uji klinis.

"Hingga 9 Januari, immunogenitas yang dilaporkan sampai 99 persen dan efikasi 65,4 persen," ungkapnya.

Sementara dari 1.620 subjek penelitian, ada 25 yang terkena Covid-19. Rinciannya, tujuh orang yang positif Covid-19 merupakan mereka yang sudah divaksin dan 18 lainnya adalah yang mendapatkan placebo. Kusnandi menduga mereka yang terkena Covid-19 memiliki daya tahan tubuh yang rendah. Namun dari tujuh orang yang mendapat vaksin dan positif Covid-19, gejalanya tidak berat.

Dia juga menjelaskan bahwa antibodi yang terbentuk pada subjek penelitian juga cukup baik. Pada hari ke-14 setelah penyuntikan kedua jumlah antibodinya sekitar 99,74 persen. Lalu setelah tiga bulan antibodinya turun menjadi 99,23 persen.

Pada kesempatan lain Pakar Kesehatan Masyarakat Anung Sugihantono menyatakan bahwa vaksin Covid-19 ini merupakan barang baru. Sehingga belum sepenuhnya diketahui. Baik manfaat vaksin, efek simpang, hingga lama perlindungan. Sehingga pemerintah mencoba melindungi masyarakat dengan tindakan yang hati-hati. Selain itu, vaksin ini masih terus diteliti untuk mendapatkan data.

"Makanya diberi registrasi, tahapan, dan tempat vaksinasinya ditentukan," ungkapnya.

Ketika vaksin tersebut sudah diketahui secara pasti efeknya, maka sebenarnya pemerintah bisa melakukan dengan cepat. Dia mencontohkan pengalamannya melakukan vaksinasi Measles Rubella (MR) ketika menjadi Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) penyuntikan vaksinnya bisa diselesaikan dalam sebulan.

"Asal dikatakan everiting its ok ya berani sehari 1.000 (orang)," katanya.

Anung menjelaskan lebih lanjut terkait efikasi yang sebelumnya dikeluarkan oleh BPOM. Vaksin Covid-19 dari Sinovac dikatakan memiliki efikasi 63,3 persen. Jumlah ini menurutnya didapat ketika yang diuji adalah orang sehat yang terkontrol oleh peneliti.

"Sekarang untuk masyarakat umum dan belum tahu efeknya gimana," ujarnya.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan, tak ada komersialisasi vaksin Covid-19. Termasuk vaksin mandiri untuk karyawan perusahaan di seluruh Indonesia. Menurut Airlangga, baik vaksin dari pemerintah maupun mandiri, disediakan gratis untuk masyarakat.

"Tidak ada komersialisasi pada vaksin mandiri. Baik mandiri maupun dari pemerintah, semua gratis. Perusahaan yang akan membeli vaksin mandiri untuk karyawannya, dan itu tidak boleh potong gaji karyawan," tegas Airlangga dalam keterangan, Senin (25/1).

Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN) itu menambahkan, pelaksanaan vaksinasi mandiri masih menunggu prioritas. Saat ini, pemerintah masih pada tahap pemberian vaksin pada pihak yang masuk dalam prioritas vaksinasi. Yakni, vaksinasi untuk tenaga kesehatan.

Airlangga mengimbau masyarakat untuk bersedia melaporkan jika ada pelanggaran terhadap program vaksinasi Covid-19. "Silakan lapor ke pihak berwenang jika diminta membayar. Siapapun masyarakatnya, vaksin Covid-19 tetap gratis," tuturnya.

Pemerintah juga masih belum mengetahui kapan vaksinasi mandiri dimulai. Menurutnya, saat ini Kementerian Kesehatan (Kemenkes) masih menyusun regulasi vaksinasi tersebut. Yang pasti, pemerintah menegaskan, merek vaksin antara program vaksin gratis pemerintah dengan vaksin mandiri harus berbeda. Namun, pemerintah masih belum memutuskan merek vaksin apa yang yang akan digunakan untuk vaksin mandiri.

Sementara, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Rosan P Roeslani mengaku pihak industri siap berpartisipasi menyukseskan vaksinasi di Indonesia. Rosan mengaku pihaknya sudah mengusulkan vaksinasi mandiri melalui pihak swasta bisa mengurangi beban negara. Vaksinasi mandiri itu diperuntukkan bagi karyawan atau pekerja, serta keluarga karyawan.

"Swasta siap mendistribusikan vaksin yang ada dalam daftar Kementerian Kesehatan yang sudah mendapatkan izin dari BPOM kepada masyarakat," tutur Rosan.

Dia menambahkan, dibukanya akses vaksin kepada swasta bukan hanya mengurangi biaya yang dikeluarkan pemerintah, tetapi juga mempercepat vaksinasi untuk masyarakat. Rosan mengaku vaksinasi mandiri kepada karyawan lebih efektif bagi perusahaan dibandingkan jika terjadi penularan virus di lingkungan perusahaan. Menurutnya, jika ada karyawan yang terkonfirmasi positif Covid-19, dibutuhkan biaya perawatan serta berdampak pada kinerja perusahaan untuk mencegah penularan yang lebih luar di internal perusahaan.

"Inilah yang kita perlukan ke depannya, agar sektor kesehatan dan ekonomi yang terdampak bisa terkendali dan tumbuh," tegasnya.

 

Exit mobile version