Site icon Riau Pos

Enam Personel Polda Dipecat Tidak Hormat

Copot Atribut: Kapolda Riau Irjen Pol Widodo Eko Prihastopo mencopot atribut personel jajaran Polda yang mengikuti upacara pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) di halaman Mapolda Riau Jalan Sudirman Pekanbaru, Senin (19/8/2019). Sebanyak enam personel jajaran Polda Riau ini dipecat dari institusi Polri lantaran melakukan berbagai macam pelanggaran.

PEKANBARU (RIAUPOS.CO) — Enam anggota jajaran Kepolisian Daerah (Polda) Riau diberhentikan secara tidak hormat. Dua di antaranya dipecat lantaran terbukti melakuan tindak pidana penyalahgunaan narkotika. 

Pemecatan tidak dengan hormat (PTDH) dipimpin langsung Kapolda Riau Irjen Pol Widodo Eko Prihastopo melalui upacara PTDH di halaman Mapolda Riau, Jalan Jendral Sudirman, Senin (19/8). Pelaksanaan kegiatan itu turut dihadiri Wakapolda Riau Brigjen Pol Wahyu Widada, Kabid Humas Polda Riau Kombes Pol Sunarto serta para pejabat utama (PJU). 

Adapun para personel yang di-PTDH tersebut yakni, Putra Budi Rahman. Mantan personel Direktorat Reserse Narkoba (Ditresnarkoba) Polda Riau itu melanggar Pasal 11 huruf c dan Pasal 11 huruf d Perkap Nomor 14  Tahun 2011  tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. 

 Lalu, mantan personel Polres Indragiri Hilir (Inhil) Yoga Sakti Munandar dan mantan personel Satresnarkoba Polres Dumai, Carli Togu Suprianto. Kedua dipecat lantaran meninggalkan tugasnya secara tidak sah dalam waktu lebih dari 30 hari kerja secara berturut-turut.  

  Kemudian, mantan personel Yanma SPN Pekanbaru Harpin dan Ahmad Khusaeri mantan personel Brimob Polda Riau. Yang mana, mereka terlibat kasus peredaran narkotika dan sudah divonis masing-masing 5 tahun dan 7 tahun serta denda Rp800 juta oleh Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru.

Terakhir, personel yang dipecat yakni Ilham Suardi, sebelumnya anggota Sabhara Polres Pelalawan. 

Kapolda Riau Irjen Pol Widodo Eko Prihastopo menyampaikan, PTDH ini dijadikan sebagai koreksi bagi semua personel agar lebih awas dan berhati-hati. Serta tidak terjerumus dalam tindakan atau perbuatan yang bisa merugikan institusi Polri, diri sendiri, dan keluarga.

 “Yang di-PTDH sudah diingatkan berkali-kali, sudah disidang berkali-kali. Namun tidak ada itikad baik untuk berubah, maka lebih baik berada di luar institusi Polri,” ungkap Widodo. 

Kepada anggota Polri yang baru dilantik, Widodo mengingatkan, untuk lebih menjaga diri. Karena menurutnya, mudah tergoda dan rentan terpengaruh perbuatan-perbuatan yang merugikan diri sendiri maupun institusi. “Yang muda sering  terpengaruh gegara gadget lepas kendali dan akhirnya salah dalam menggunakan teknologi,” papar jenderal bintang dua itu. 

 Saat ini, lanjut mantan Wakapolda Jawa Timur (Jatim), Provinsi Riau masuk dalam lima besar dengan penyalahgunaan narkotika tertinggi dari seluruh wilayah di Indonesia. Sehingga, para personil minta untuk tidak terlibat peredaran dan penyalahgunaan barang haram. 

 “Kita harus ingat bahwa keluarga kita. Jangan mengecewakan keluarga.  Apapun jenjang pendidikan saat masuk sebagai anggota Polri, semua adalah yang terpilih dengan predikat terbaik. Mengalahkan pesaing lain. Jangan hanya gara-gara narkoba lalu terjerumus dan harus terlempar dari organisasi Polri yang sudah dimasuki dengan kegemilangan,” jelasnya.

Pada kesempatan itu, Kapolda juga memerintahkan kepada personel Satuan Kerja (Satker) terkait untuk melaksanakan tes urine secara rutin. “Saya berharap upacara PTDH ini hanya terjadi sekali ini saja. Namun jika ada yang membandel, tentu saja langkah PTDH akan ditempuh demi membela organisasi Polri secara keseluruhan,” tegasnya. 

Sementara itu, Psikologi Forensik, Reza Indragiri Amriel angkat bicara terkait pelaksanaan PTDH terhadap enam personel Polda Riau. Dikatakannya,  PTDH itu kegagalan Polri melakukan pembinaan kepada para personel . 

 “Hal lain, kalau dibuang ke tengah-tengah masyarakat, bukankah para oknum itu malah semakin berbahaya? Tidak hanya merugikan diri sendiri, tapi juga berpotensi kuat menularkan kebahayaan/kerugian pada masyarakat sekitar,” sebut Reza. 

Kekhawatiran ini beralasan, karena menurutnya, dalam psikologi forensik, stabilitas kerja merupakan salah satu unsur yang ditakar untuk mengetahui risiko residivisme individu. Individu dengan riwayat kerja yang morat-marit adalah individu dengan risiko residivisme lebih tinggi

 Apalagi dengan status dipecat secara tidak hormat dan identitas mereka dibuka ke publik. Lantas, pekerjaan apa yang nantinya bisa dimasuki orang-orang yang dibuang institusi Polri itu. “Sulit bekerja normal, boleh jadi mereka kelak justru mencari penghidupan dari dunia kejahatan,” katanya. 

  Disampaikan Reza, membersihkan institusi Polri dari oknum bejat memang sudah seharusnya. Tapi jangan pula mengabaikan keperluan masyarakat akan rasa aman. “Jadi, tanggung jawab Polri semestinya tidak berakhir seiring didepaknya para oknum tersebut. Polri harus terus memantau pergerakan mereka agar tidak menjadi pelaku kekisruhan di masyarakat,” pungkasnya.(rir)

Exit mobile version