Site icon Riau Pos

Erotisme dalam Sastra Digital

erotisme-dalam-sastra-digital

(RIAUPOS.CO) – Erotisme dalam karya sastra barangkali sudah menjadi hal yang lumrah. Muatan erotisme dalam sebuah cerita dianggap sebagai bumbu penyedap dari cerita tersebut. Keberadaan karya sastra yang bernuansa erotik sudah dapat ditemukan sejak sastra  ada di masyarakat. Pada masa itu masih dikenal sebagai sastra daerah. Misalnya dalam sastra Jawa klasik, seperti terlihat dalam Babad Tanah Jawi, Serat Gatolotjo, Serat Darmogandul, Serat Centini, serta Serat Darmawulan.   

Steinberg mengatakan bahwa kategorisasi sastra erotik mencakupi; pertama, karya sastra yang menampilkan hubungan pria dan wanita dengan penekanan pada aspek spiritual, intelektual, dan hubungan intim ragawi yang dinyatakan secara terselubung. Kedua, karya sastra menyajikan atau menggambarkan seksualitas secara lebih menarik, tetapi tidak menjadi inti cerita. Kategori ketiga adalah karya sastra yang bersifat pornografi murni. Dalam karya pornografi jenis ini, pengarang menyajikan secara terperinci seksualitas dengan maksud untuk membangkitkan hawa nafsu pembaca.

Muatan erotisme ini berlanjut pada novel-vovel populer yang lahir sekitar akhir tahun 1970-an. Digawangi oleh dua penulis legendaris, Fredy S. dan Motinggo Busye. Pada umumnya novel-novel yang terbit pada masa ini dibumbui oleh adegan-adegan dewasa. Padahal pembacanya tidak hanya orang dewasa, tetapi juga para remaja. Novel-novel itu bisa didapatkan di toko buku dan di tempat peminjaman buku.

Akan tetapi, pada tahun 2000, lahir novel-novel yang tidak lagi mengumbar adegan-adegan erotis. Novel-novel yang akhirnya diangkat ke layar lebar ini lebih mengutamakan tema dan pesan yang baik, yang bisa diambil hikmahnya oleh para pembaca. Ada  “Biola Tak Berdawai” karya Seno Gumira Ajidarma, “Ayat-Ayat Cinta” dan “Ketika Cinta Bertasbih” yang keduanya merupakan karya Habiburrahman El Shirazy, “Laskar Pelangi” dan “Sang Pemimpi” yang ditulis oleh Andrea Hirata, “Negeri Lima Menara” karya Ahmad Fuadi, “Assalammualaikum Beijing” dan “Surga yang Tak Dirindukan” karya Asma Nadia.  

Namun, dalam perjalanan waktu, dengan masuknya kita ke dalam era digital, karya sastra dan novel pun masuk ke dalam media digital. Siapa saja bisa membaca atau memasukkan cerita di media digital tersebut. Saat ini, begitu banyak aplikasi yang khusus berisi cerita fiksi, seperti wattpad, mangatoon, noveltoon, dream, serta di grup-grup kepenulisan yang ada di facebook.

Barangkali suatu hal yang menggembirakan, bahwa tanah air kembali dimarakkan oleh karya-karya sastra sebagai bahan bacaan bagi masyarakat. Geliat pencetakan novel juga sangat membanggakan. Telah sangat banyak novel-novel yang ditayangkan secara online itu, pada akhirnya dicetak menjadi sebuah novel. Jika novel tersebut dicetak oleh penerbit mayor, maka novel itu tentu akan menghuni rak-rak buku di toko-toko buku tanah air. Suatu hal yang tentu sangat membahagiakan bagi seorang penulis.

Akan tetapi, hal negatif dari sastra digital ini juga tidak dapat dielakkan. Semua unggahan tulisan di aplikasi novel tersebut masuk tanpa melalui proses sensor. Oleh sebab itu, seperti apa pun tulisan yang dimasukkan oleh seorang penulis, maka seperti itulah yang akan tampil di layar ponsel atau laptop seorang pembaca. Penulis bebas menampilkan cerita apa pun di aplikasi-aplikasi tersebut.

Hal ini menyebabkan cerita-cerita yang tayang di semua aplikasi novel itu rawan dengan konten pornografi. Begitu banyak cerita dengan konten dewasa diceritakan secara vulgar. Adegan 21 tahun ke atas bisa ditampilkan dengan begitu bebas. Tidak jarang, cerita dilengkapi juga dengan beberapa gambar yang mendukung keerotisan cerita. Jika diamati, apa yang terdapat di dalam cerita-cerita digital saat ini melebihi kevulgaran cerita pada novel-novel di zaman Freddy S.

Cerita berbau erotis itu dianggap penulis sebagai daya tarik tersendiri, sehingga akan banyak pembaca yang menyukai ceritanya. Sebab biasanya, semakin banyak pembaca yang singgah dan memberikan vote untuk ceritanya tersebut, maka kemungkinan cerita itu akan dipinang penerbit untuk diterbitkan menjadi novel akan semakin besar juga. Penerbit indie sampai mayor biasanya mencari cerita dengan pembaca terbanyak di masing-masing aplikasi novel digital.

Ironisnya, siapa saja bisa membuka dan membaca cerita yang ada di aplikasi novel tersebut. Mulai dari anak-anak, remaja, sampai dewasa. Setiap cerita biasanya memang menampilkan keterangan umur, misalnya untuk usia +18 atau +21. Tetapi, tidak ada yang bisa menjamin, bahwa pembaca akan mengindahkan keterangan tersebut. Bisa saja keterangan tersebut semakin menambah rasa penasaran bagi anak dan remaja yang usianya belum mencapai 18 tahun atau 21 tahun.

Padahal seperti yang kita ketahui, bacaan dan tontonan erotis bisa memicu tindakan seks bebas di luar nikah. Sehingga wajar, jika setiap hari kekerasan seksual semakin meningkat di negeri ini. Betapa banyak berita yang menampilkan aksi pemerkosaan, pelecehan seksual, maupun hubungan seks di luar nikah. Pada umumnya, para pelaku mengaku melakukan hal tersebut setelah menonton video porno dan membaca cerita erotis.

Untuk itu, peran orang tua dan sekolah benar-benar diharapkan dalam meminimalkan tayangan dan bacaan berbau erotisme ini. Orang tua diharapkan selalu memantau apa yang ditonton atau yang dibaca oleh anak-anaknya. Orang tua harus mendampingi anak-anaknya ketika menggunakan ponsel untuk menonton ataupun membaca cerita. Di samping itu, pendidikan agama dan penanaman akhlak yang baik menjadi hal utama dalam membentengi anak-anak dari pengaruh negatif tontonan pornografi dan bacaan erotik.

Semoga anak-anak kita, generasi muda bangsa ini, dilindungi dari hal-hal negatif akibat maraknya tontonan pornografi dan bacaan erotis.***

    

Marlina, Peneliti Sastra di Balai Bahasa Riau

 

Exit mobile version