Site icon Riau Pos

Kurikulum Darurat, Materi Dipangkas hingga 70 Persen

JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Kurikulum darurat secara resmi telah diluncurkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Pada kurikulum ini, banyak materi yang dipangkas bahkan lebih dari separuh.

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kemendikbud Totok Suprayitno menuturkan, kurikulum darurat ini akan meringankan beban guru termasuk siswa. Karena, kurikulum darurat dilakukan dengan pemangkasan jumlah kompetensi dasar dan kompetensi inti tiap mata pelajaran.

Pasalnya, lanjut dia, pada kurikulum darurat ini materi yang wajib disampaikan pada proses belajar hanya yang penting dan esensial. Sehingga, akan meringankan beban mengajar dan belajar di tengah pandemi Covid-19.

"Jumlah cakupan yang dihilangkan atau digabung bahkan ada yang sampai 70 persen. Jadi jauh dari yang aslinya," ujarnya di Jakarta, Senin (10/8).

Meski begitu, kurikulum darurat ini tidak wajib digunakan semua guru. Apabila guru merasa sesuai, maka bisa menggunakan kurikulum normal atau modifikasi mandiri dari kurikulum normal. Dia menegaskan, Kemendikbud tidak akan memberi restriksi ketat kepada guru. Sebab, dalam proses belajar guru harus diberikan kreatifitas. Sehingga, tidak kaku.  "Ketika RPP (rencana pelaksanaan pembelajaran, red) diseragamkan jadinya kaku. Ice breaking jam tujuh, kemudian selanjutnya jadwal apa," keluhnya.

Pada masa pandemi ini, kata dia, penyederhanaan kurikulum sangat diperlukan. Karena, anak yang belajar tanpa didampingi guru banyak mengalami kesulitan-kesulitan. Lost of learning bahkan disebutnya jadi seperti sebuah keniscayaan. Maka dari itu, salah satu mengatasinya ialah mempersilakan sekolah di daerah zona hijau dan kuning untuk membuka sekolah dengan seluruh persyaratan yang ada.

"Dari sisi kurikulum, kita berikan opsi kurikulum yang sederhana sebagai salah satu pilihan sekolah. Bagi PJJ (pembelajaran jarak jauh, red) ataupun tatap muka," paparnya.

Selain itu, pihaknya juga menyiapkan modul pembelajaran yang diberikan kepada siswa, guru, dan orangtua di jenjang pendidikan anak usia dini (PAUD) dan sekolah dasar (SD). Modul ini diklaim lebih mudah dipahami karena berbasis aktivitas. Untuk PAUD, basisnya ialah bermain itu belajar. Sementara SD, dimulai dengan literasi numerasi.

Tapi lagi-lagi, tak ada restriksi terkait wujud belajar yang bisa dilakukan di rumah meski telah diberikan panduan dalam modul tersebut. orang tua dan guru bebas berkreasi dengan apa yang ada di lingkungannya.  "Jangan sampai modul jadi instruksi penyeragaman.Tidak. Silahkan dikembangkan sendiri, yang mungkin idenya bisa dari modul," papar Totok.

Di sisi lain, ia mengingatkan kembali bahwa guru juga perlu melakukan assessment. Hal ini untuk mengurangi gap antar siswa. Jika sudah terdeteksi, maka baiknya guru tak melanjutkan ke materi selanjutnya. Namun memberikan pendalaman atas kekurangan pada siswa.(mia/jpg)

Exit mobile version