Site icon Riau Pos

Tito Kritik Pemilu Langsung Banyak Mudaratnya, Sekjen PDIP Tanggapi Positip

Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto. (Hendra Eka/Jawa Pos)

JAKARTA(RIAUPOS.CO) – Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengkritik sistem pemilu langsung yang dianggap memiliki banyak sisi buruk atau mudarat. Seperti biaya politik tinggi, sehingga memicu terjadinya mahar politik atau politik uang.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto menanggapi positif kritik Tito untuk melakukan evaluasi pelaksanaan pemilu langsung. Sebab sistem tersebut menyebabkan tingginya biaya pemilu, korupsi, dan ketegangan politik akibat demokrasi bercita rasa liberal, kapitalistik yang selama ini diterapkan di Indonesia.

“Sistem politik, sistem kepartaian, dan sistem pemilu harus senafas dengan demokrasi Pancasila yang mengandung elemen pokok perwakilan, gotong royong, dan musyawarah,” kata Hasto kepada wartawan, Jumat (8/11).

Hasto menyampaikan, selain berbiaya mahal, pemilu langsung juga memunculkan oligarki baru. Kaum pemegang modal dan memiliki akses luas terhadap media, serta mereka yang mampu melakukan mobilisasi sumber daya, sangat berpeluang terpilih.

“Demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat tereduksi menjadi demokrasi kekuatan kapital. Dalam perspektif inilah kritik Mendagri terasa begitu relevan,” imbuhnya.

Di sisi lain, Hasto mengatakan, PDIP menerapkan merit system melalui psikotest, test tertulis dan wawancara di dalam pemilihan pimpinan Partai di tingkat provinsi dan kabupaten kota. Sistem musyawarah tanpa voting dipilih, sehingga menghindarkan dari praktik politik berbiaya tinggi.

“Hasilnya, kualitas kepemimpinan Partai di semua tingkatan meningkat, berbiaya sangat murah, dan minim konflik. PDI Perjuangan menegaskan sebagai Partai dengan biaya paling kompetitif dan efektif di dalam melakukan konsolidasi struktural Partai,” tegas Hasto.

Sebelumnya, Tito meminta agar sistem Pilkada secara langsung dikaji ulang. Terlebih setelah lebih dari 20 tahun diterapkan, apakah sistem tersebut masih layak digunakan saat ini. “Kalau saya sendiri justru pertanyaan saya adalah, apakah sistem politik pemilu Pilkada ini masih relevan setelah 20 tahun,” kata Tito di Komplek DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (6/11).

Dia pun menilai banyak mudarat yang ditimbulkan dari sistem pemilu seperti ini. “Kita lihat mudaratnya juga ada, politik biaya tinggi. Kepala daerah kalau enggak punya Rp 30 miliar, mau jadi Bupati mana berani dia. Udah mahar politik,” imbuhnya.

Editor :Deslina
Sumber: Jawapos.co

Exit mobile version