Site icon Riau Pos

Deflasi Beruntun dan Daya Beli Masyarakat

Budi Hartono, Statistisi Ahli Madya, BPS Kota Pekanbaru

Deflasi empat bulan beruntun, tengah menjadi sorotan dan menimbulkan tanda tanya mengenai kondisi perekonomian saat ini. Di atas kertas, deflasi dinilai menguntungkan bagi konsumen karena harga barang di pasar turun alias lebih murah. Namun, ketika deflasi terjadi tiga bulan berturut-turut, maka ini menjadi sinyal bahwa ekonomi tengah mengalami soft landing dan bukan tidak mungkin dampaknya justru membahayakan kondisi ekonomi masyarakat.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), di Indonesia tahun 2024 ini deflasi (month to month) pada Mei tercatat sebesar 0,03 persen, lalu pada Juni sebesar 0,08 persen, kemudian pada Juli sebesar 0,18 persen, dan Agustus sebesar 0,03 persen. Lantas, bagaimana kondisi di Riau dan Kabupaten/Kota yang merilis Indeks Harga Konsumen (IHK) bulanan?

Provinsi Riau juga mengalami deflasi secara beruntun dalam tiga bulan terakhir tahun 2024. Pada Juni tercatat sebesar 0,22 persen, lalu pada Juli sebesar 0,80 persen, dan Agustus kembali deflasi sebesar 0,27 persen.

Di Kota Dumai terjadi inflasi dalam empat bulan berturut-turut, yaitu bulan Mei hingga Agustus 2024. Sementara itu, di Kampar dan Tembilahan telah terjadi deflasi selama tiga bulan berturut, dari Juni 2024 sampai dengan Agustus 2024. Di Kota Pekanbaru sendiri deflasi tercatat di bulan Juli 2024 sebesar 0,58 persen dan Agustus 2024 sebesar 0,37 persen.

Ada pendapat bahwa tidak perlu ada yang dikhawatirkan dengan deflasi beruntun yang terjadi belakangan ini karena hal ini efek koreksi penurunan harga pangan. Kalau deflasi berasal dari harga pangan, memang diupayakan dari pemerintah untuk menurunkan terutama waktu inflasi dari komoditas harga pangan yang cukup tinggi terutama dari beras, juga karena adanya El Nino. Jadi kalau penurunan koreksi terhadap harga pangan itu menjadi tren yang positif.

Ada beberapa hal yang menjadi sebab dari deflasi beruntun ini. Dari sisi suplai atau penawaran, seperti panen beberapa komoditas pangan dan hortikultura bisa memberikan andil, seperti bawang merah yang masuk masa panen raya. Turunnya biaya produksi juga turut andil dalam mendorong deflasi, seperti pada komoditas telur ayam ras dan daging ayam ras.

Selain itu, adanya fenomena masyarakat yang menunjukkan perilaku menahan konsumsi demi menjaga daya beli. Untuk menjaga daya beli, khususnya untuk konsumsi makanan maka diduga rumah tangga telah menahan konsumsi nonmakanan, sehingga terlihat pada turunnya permintaan atau demand konsumsi nonmakanan.

Menurunnya jumlah kelas menengah yang menjadi isu hangat akhir-akhir ini, diyakini juga turut memiliki andil terhadap kinerja Indeks Harga Konsumen (IHK). Kelas menengah yang jumlahnya menyusut membuat demand pull inflation-nya menjadi kecil. Masyarakat menahan diri untuk tidak belanja barang sekunder dan tersier karena pendapatan tidak mampu mengimbangi harga kebutuhan pokok.

BPS mencatat bahwa pada 2019 terdapat 57,33 juta kelas menengah atau 21,45 persen dari total penduduk Indonesia. Namun, kini jumlah kelas menengah menjadi 47,85 juta atau 17,13 persen dari total penduduk Indonesia. Pada periode yang sama, terjadi peningkatan jumlah dan persentase kelompok penduduk rentan miskin dari 54,97 juta menjadi 67,69 juta atau dari 20,56 persen menjadi 24,23 persen. Sedangkan, kelompok menuju kelas menengah dari 128,85 juta menjadi 137,50 juta atau dari 48,2 persen menjadi 29,22 persen.

Artinya, sekitar 9,4 juta penduduk kelas menengah hilang selama 2019 hingga 2024, indikasinya karena mereka turun ke kelompok menuju kelas menengah (aspiring middle class). Bertambahnya kelompok rentan miskin memang mengindikasikan banyaknya penduduk yang naik keluar dari batas kemiskinan, tetapi ada pula kemungkinan kelompok aspiring middle class yang turun menjadi rentan miskin karena tekanan ekonomi.

Deflasi bisa menjadi alarm atau penanda awal bahwa masyarakat sedang tidak baik-baik saja karena tidak berdaya untuk membeli barang-barang kebutuhan hidupnya, tidak bisa mengonsumsi barang dengan wajar, atau setidaknya menunda konsumsinya karena tidak memiliki dana yang cukup. Turunnya harga di pasaran bukan semata-mata karena terjadinya overstock, bisa jadi imbas dari berbagai persoalan ekonomi yang dialami oleh masyarakat.

Daya beli masyarakat yang menurun, imbasnya bisa kemana-mana. Bukan hanya pada turunnya permintaan produk barang dan jasa di pasaran, tetapi juga Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Sepanjang 2024 tidak sedikit industri yang dilaporkan terpaksa menutup usahanya di berbagai daerah. Pasar yang lesu menyebabkan dunia usaha terpaksa memangkas kapasitas produksi. Parahnya, serbuan produk-produk impor yang begitu deras menyebabkan daya saing produk dalam negeri menjadi keteteran. Barang impor murah dengan mudah menyerbu pasar Indonesia, terutama produk keramik, tekstil, alas kaki serta kosmetik.

Dalam beberapa tahun terakhir, tidak sedikit masyarakat yang mengalami pergeseran mata pencaharian. Di Riau, pada Februari 2024, penduduk yang bekerja pada kegiatan informal sebanyak 1,64 juta orang (53,08 persen), sedangkan yang bekerja pada kegiatan formal sebanyak 1,45 juta orang (46,92 persen). Dibandingkan Februari 2023, persentase penduduk bekerja pada kegiatan informal mengalami peningkatan sebesar 1,63 persen poin. Sektor kegiatan informal mungkin belum menjanjikan kepastian dari sisi penghasilan.

Korban PHK banyak yang akhirnya masuk ke sektor gig economy, seperti membuka usaha kecil-kecilan dengan dukungan modal yang tidak seberapa, pekerja ojek online, masuk ke dalam bisnis online yang tidak membutuhkan konter-konter khusus di mal atau pasar, penjual barang dari supplier (reseller) barang di marketplace, membuka warung kelontong, membuka jasa laundry, dan lain sebagainya. UMKM kini menjadi salah satu andalan masyarakat untuk bertahan hidup.

Untuk mencegah agar daya beli masyarakat tidak makin terpuruk dan korban-korban PHK tidak masuk dalam pusaran kemiskinan yang mematikan, beberapa upaya bisa dilakukan.

Pertama, intervensi terhadap harga komoditas dengan menaikkan harga barang yang dikonsumsi masyarakat bukanlah tindakan yang tepat, apalagi terhadap barang kebutuhan pokok masyarakat. Masyarakat tengah berusaha menahan diri dengan membeli yang perlu saja. Maka dengan menaikkan harga malah membuat beban masyarakat semakin berat dan daya beli semakin turun karena pendapatan yang cenderung tidak naik.

Kedua, perlu upaya pemerintah agar masyakat tidak berkurang/kehilangan pendapatannya, bahkan perlunya upaya menaikkan pendapatan masyarakat sehingga daya beli meningkat. Penyelematan industri yang tengah sekarat agar tidak tergerus iklim persaingan akibat masuknya produk impor yang tidak terkendali, penguatan UMKM, serta mendahulukan kepentingan industri dalam negeri perlu benar-benar dikedepankan agar ekonomi tidak kolaps. Pemerintah perlu mendorong optimisme masyarakat agar tidak patah arang.

Ketiga, pemerintah harus memanfaatkan APBD untuk membangun proyek padat karya yang dapat menyerap warga masyarakat yang tidak bekerja agar dapat bekerja. APBN bagaimana pun adalah salah satu tumpuan pemerintah untuk dapat berperan mendorong penciptaan lapangan kerja yang mampu menampung para pengangguran agar memiliki penghasilan sehingga memiliki daya beli yang baik.***

Oleh: Budi Hartono, Statistisi Ahli Madya, BPS Kota Pekanbaru

Exit mobile version