Site icon Riau Pos

Mengaji Aksara Arab Melayu

mengaji-aksara-arab-melayu

Seperti tak ada habisnya mengeja dan mengaji tentang aksara Arab Melayu. Bahkan, ketika para sastrawan dan budayawan berkumpul, waktu berjam-jam, hanya terasa sekejap. Sebegitu asyikkah mengaji Aksara Arab Melayu?

(RIAUPOS.CO) – KAFE ini memang selalu ramai. Namanya Mabest Coffee. Letaknya di Jalan Rambutan, tak jauh dari simpang Jalan Arifin Ahmad. Tetapi, sore itu, Jumat (14/1), agak sedikit berbeda. Ada budayawan dan sastrawan Riau yang berkumpul. Mereka asyik memperbincangkan tentang Arab Melayu. Bukan hanya sekedar memperbincangkan begitu saja, tapi mengaji hingga ke akar-akarnya. Para sastrawan budayawan ini adalah mereka yang sering aktif berkumpul dan berbincang tentang   banyak hal terkait Melayu dalam suatu majelis grup Whatshapp yang diberi nama Majelis Sastra Riau (MSR).

Kaji mengaji ini diberi nama Diskusi Sastra yang ditaja oleh MSR. Dheni Kurnia dan Aris Abeba, adalah dua sastrawan yang menggagas terlaksananya kegiatan tersebut. Dalam diskusi yang dimulai pukul 14.00 WIB itu menghadirkan tiga pembicara. Mereka adalah Elmustian Rahman, Taufik Ikram Jamil dan Dr Junaidi. Hadir juga Kepala Dinas Kebudayaan Riau Yoserizal Zein dan beberapa sastrawan Riau lainnya.

Diskusi berjalan santai, ringan tapi jauh hingga ke akar-akarnya dengan dipandu Satria Batubara sebagai moderator. Selain pemaparan oleh pembicara, juga dibuka Tanya jawab untuk seluruh peserta yang hadir. Tidak hanya sastrawan, tapi juga tamu kafe yang mayoritas jurnalis. Sebab, kafe ini memang menjadi lokasi berkumpulnya para jurnalis Riau, di samping masyarakat umum.

Elmustian Rahman, membeberkan tentang Arab Melayu atau aksara Arab Melayu secara luas. Katanya, Aksara Arab Melayu adalah sistem tulisan dalam bahasa Arab yang digunakan untuk menuliskan bahasa Melayu dan semua variasi dialeknya. Aksara Arab berbahasa Melayu disebut dengan aksara Jawi. Di Jawa ada juga aksara Arab berbahasa Jawa disebut dengan aksara Pegon.

Aksara Arab Melayu ini, katanya lagi,  dipakai oleh pelbagai bangsa Melayu di Nusantara. Keberadaan aksara ini di Nusantara jauh sebelum adanya aksara Latin yang digunakan oleh negara yang bernama Indonesia ini. Penggunaan aksara Arab Melayu oleh bangsa-bangsa di Nusantara diperkirakan sudah lebih dari 700 tahun. Sedangkan penggunaan aksara Latin diperkirakan baru berusia 100 tahun. Penggunaan aksara Latin ini akibat desakan dan tekanan yang terus-menerus dari penjajahan Belanda di awal abad ke-20, karena masyarakat di Nusantara ini sudah melek huruf menggunakan aksara Arab Melayu.

Berbagai aksara di Nusantara memiliki kekerabatan. Baik aksara Latin maupun aksara Arab Melayu, memiliki nenek moyang yang sama. Aksara Arab Melayu (Jawi) berinduk kepada aksara Arab yang memiliki saudara kandung aksara Parsi dan Ibrani. Sedangkan aksara Latin berinduk ke aksara Yunani. Dan, aksara Yunani berinduk ke aksara Fenisia. Dari sinilah induk dua aksara ini lahir yaitu induknya aksara Semit Utara yang merupakan kelanjutan dari aksara Semit Kuno.

"Jadi, nenek moyang aksara Latin yang sekarang digunakan oleh Indonesia maupun aksara Arab Melayu yang menjadi kekhasan dan kebanggaan masyarakat Riau memiliki nenek moyang yang sama yakni aksara Semit Utara," beber Elmustian.

Indonesia memiliki banyak aksara daerah, seperi aksara Batak, aksara Sunda, aksara rencong, yang semua aksara ini nenek moyangnya aksara Brahmi. Aksara Brahmi ini, sambung Elmustian,  berinduk pula ke aksara Aramea dan Aramea berinduk ke Semit Utara juga. Karena sangat strategis dalam menyatukan bangsa pelbagai aksara daerah ini, juga dipelajari di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Riau.

"Mengutip langsung pikiran Allahyarham Datuk Seri H Al Azhar soal perpindahan dari Arab Melayu ke Latin, adalah pilihan pemerintah kolonial Hindia Belanda di Indonesia dan Inggris di Malaysia terhadap penggunaan huruf Latin di lembaga-lembaga pendidikan pribumi. Penggunaan yang dipaksakan ini memiliki dampak yang sangat mendalam pada konfigurasi kehidupan intelektual semasa dan sesudahnya. Cendekiawan Melayu-Islam didesak keluar dari lingkaran inti rujukan, didorong ke tepi; di tempat-tempat yang kosong itu kemudian didudukkan figur-figur yang cenderung mengingkari kepribumiannya, dan yang pengetahuannnya bersumber dari teks-teks huruf Latin (Barat)," kata Elmustian lagi.

Pada kesempatan itu, Elmustian juga menjelaskan bagaimana perjalanan gelombang keberaksaraan di Nusantara dimulai dari aksara Jawi yang diperkirakan dimulai pada abad ke-13. Beberapa kerajaan yang menggunakan aksara Arab Melayu adalah kerajaan Melaka kemudian Kerajaan Johor pada masa berikutnya. Masa ini dianggap sebagai gelombang awal literasi Jawi. Gelombang berikutnya adalah Kerajaan yang menggunakan aksara Jawi Kerajaan Johor Riau Lingga Pahang, Riau Lingga, Siak Sri Indrapura, yang dianggap Puncak Literasi. Berlangsung abad ke-19. Gelombang berikutnya adalah gelombang ketiga yang digunakan oleh Kerajaan Riau Lingga, Siak Sri Indrapura, Pelalawan, 5 Luhak Rokan. Sungguh, merupakan gelombang kemerosotan literasi pada abad ke-20.

Dilanjutkan Elmustian, Pada zaman keberaksaraan Jawi baik gelombang pertama maupun gelombang kedua, adalah tradisi penulisan yang paling prolifik. Abad ke-19 Riau bahkan menjadi negeri yang paling prolifik dalam melahirkan karya sastra. Dikenallah sastra apa yang disebut oleh R.O. Winsted  sebagai aliran Riau atau Riau School. Braginsky menyebutnya sebagai sebagai ‘mazhab sastera Riau’.

Di zaman kemerosotan literasi (awal abad 20) beberapa data disebutkan bagaimana para pelajar Riau menggunakan aksara Jawi, seperti Ismail Suko kepada calon isterinya di Bengkalis. Dan, bagaimana Toha Hanafi menulis aksara Jawi kepada emak bapaknya di Baturijal.

Kembali ke persoalan awal, sambung Elmustian, sejarah aksara Arab-Melayu atau Jawi dikenal seiring dengan masuk dan berkembangnya agama Islam di Nusantara. Dokumen tertua penggunaan aksara Arab Melayu ini adalah Batu Bertulis yang ditemukan di Ulu Terengganu, Malaysia, bertahun 1303; atau disebut juga Prasasti Terengganu. Prasasti ini ditemukan pada awal abad ke-20 oleh seorang saudagar keturunan Arab bernama Sayid Husin bin Ghulam Al-Bokhari di Sungai Teresat dekat Kuala Berang Ulu Terengganu. Menurut penduduk setempat, prasasti ini sudah lama terletak di depan sebuah surau, dan dipakai sebagai tumpuan kaki sewaktu berwudhuk.

"Penggunaan akasara Arab Melayu mengatasi persoalan keragaman dialek bahasa Melayu dan keragaman ekspresi budaya yang ada di Nusantara. Fungsi sosial dan politik aksara Arab Melayu ini sangat kokoh dalam menyatukan berbagai keragaman. Karena fungsi itu pulalah semua kerajaan Melayu seperti Kerajaan Perelak di Aceh abad ke-9, Kerajaan Inderagiri yang berlangsung 600 tahun, Kerajaan Deli dan Serdang, Kerajaan Tambusai dan kerajaan di sekitarnya, Kerajaan Dharmasraya, Kerajaan Siak Sri Inderapura, Pelalawan, Kerajaan Johor Riau dan Riau Johor Lingga menggunakan aksara Arab Melayu," lanjut Elmustian.

Pemerintah Provinsi Riau menggunakan aksara ini untuk penamaan kantor instansi pemerintahan, dan sejalan dengan puluhan tahun lalu di sekolah-sekolah di Riau dijadikan sebagai mata pelajaran muatan lokal Arab Melayu, sambung Elmustian. Di Indonesia, katanya, ini tidak hanya Riau yang menggunakan “aksara daerah” yang disematkan di instansi pemerintahan, ada provinsi lainnya seperti Jawa Barat, Jogjakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali juga menggunakan aksara Jawa. Jawa Barat menggunakan aksara Sunda, dan bahkan di Sulawesi.

"Aksara Arab Melayu dipakai lebih dari 10 ribu naskah Melayu yang tersebar di berbagai belahan dunia seperti Indonesia, Afrika Selatan, Malaysia, Australia, dan Austria. Di Belanda paling banyak tersimpan naskah menggunakan Arab Melayu ini, antara lain di Universitas Leiden Belanda dan Amsterdam di Gemeentelijke Universiteit Bibliotheek, Koninklijk Instituut voor de Tropen, Universitiets van Amsterdam, dan Den Haag. Perlu di ketahui naskah di Leiden ini terutama tersimpan di Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-en Volkenkunde, Rijksmuseum voor Volkenkunde, Universiteitsbibliotheck. Naskah Melayu beraksara Jawi juga tersimpan di Utrecht universiteitsbibliotheek, Belgia, Brussels, Brunai Darussakan, Ceko, Denmark, Hungaria, India, Inggris, Irlandia, Italia, Jerman, Mesir, Norwegia, Polandia, Portugal, Prancis, Rusia, Singapura, Spanyol, Srilanka, Swedia, Thailand, dan bahkan di Vatikan," kata Elmustian lagi.

Diskusi ini dirancang sebab ada pembahasan di Grup MSR sebelumnya tentang pengolokan terhadap Arab Melayu tersebut oleh oknum dan menyebarluaskan di media sosial. Menurut Dr Junaidi, penggunaan Arab Melayu untuk nama jalan, nama kantor sudah sangat tepat. Secara tidak langsung, apa yang dilakukan pemerintah ini juga sebagai salah satu upaya pemeliharaan terhadap aksara Arab Melayu tersebut.

"Penggunaan Arab Melayu pada nama-nama kantor pemerintah sudah tepat dan justru kita berikan apresiasi. Sebab Arab Melayu merupakan warisan dari peradaban Melayu itu sendiri. Kita mendukung dan mendorong lebih banyak lagi penggunaan Arab Melayu untuk menunjukkan identitas Melayu di Riau ini," katanya sore itu.

Taufik Ikram Jamil yang dikenal dengan TIJ juga menyampaikan banyak hal tentang Arab Melayu tersebut. Pada prinsipnya, apa yang sudah dilakukan pemerintah dalam menjaga Arab Melayu sebagai warisan, baik dengan menjadikannya sebagai muatan lokal di sekolah-sekolah dan lainnya, patut diapresiasi dan didukung bersama.

"Menjadikan aksara Arab Melayu sebagai muatan lokal di sekolah-sekolah ini, bukan upaya main-main dalam menjaga warisan ini. Pemerintah serius melaksanakannya sehingga Arab Melayu tetap dikenal dan dipelajari oleh generasi-generasi berikutnya, bukan hanya oleh para orang tua," kata TIJ.

Selain diskusi santai sambil menyeruput kopi hangat dan pisang rebus, para peserta juga dihibur oleh dendangan lagu-lagu Melayu bersama Zuarman Ahmad dan rekan-rekan. Aris Abeba Sang Penggagas yang juga Imam Panggung Toktan, mengucapkan banyak terimekasih kepada sastrawan dan budayawan yang hadir.  "Diskusi ini gagasan bersama sastrawan-sastarawan yang ada di dalam grup MSR. Terimaksih banyak buat semua sehingga acara ini bisa terlaksana," kata Toktan.

Hal tak jauh berbeda juga diungkapkan Dheni Kurnia yang juga Buya Panggung Toktan. Katanya, diskusi ini tahap awal. Nanti akan dilaksanakan diskusi-diskusi yang sebagai wujud rasa peduli sastrawan Riau dalam menyikapi berbahai hal yang mencuat dan hangat dibicarakan atau tentang sesuatu yang memang layak untuk didiskusikan.

"Insyaallah kita akan laksanakan diskusi berikutnya. Ini baru permulaan. Bisa banyak hal terkait sastra, budaya, bahasa, kearifan lokal bahkan seni dan sastra yang bias didiskusikan bersama," katanya lagi.***

Laporan KUNNI MASROHANTI, Pekanbaru

 

Exit mobile version