Site icon Riau Pos

Desak Selidiki Temuan Kuburan Massal di Gaza

Petugas medis mendorong pasien anak-anak menggunakan kursi roda yang menjadi korban pemboman Israel di Rafah Jalur Gaza Selatan, Rabu (24/4/2024). (MOHAMMAED ABED/AFP)

JALUR GAZA (RIAUPOS.CO) – Kuburan massal berisi ratusan mayat ditemukan di dalam dan sekitar reruntuhan Rumah Sakir (RS) Nasser dan Al-Shifa di Gaza yang hancur. Kepala HAM PBB Volker Turk menyerukan penyelidikan independen dan transparan atas kekejaman Israel itu.

Dilansir dari Al Jazeera, Turk mengaku ngeri pada kondisi itu. ’’Mengingat iklim impunitas yang ada, hal ini harus melibatkan penyelidik internasional. Rumah sakit berhak atas perlindungan khusus berdasar hukum kemanusiaan internasional,’’ ujarnya.

Turk juga menyebutkan apa yang dilakukan Israel sebagai kejahatan perang. ’’Ini adalah pembunuhan yang disengaja terhadap warga sipil dan tahanan sebagai kejahatan perang,’’ jelas dia.

Pada Selasa (23/4), dalam operasi pencarian oleh kru Pertahanan Sipil Gaza, telah ditemukan setidaknya tambahan 17 jenazah. Total, telah ditemukan 310 jenazah. Beberapa jenazah ditemukan dengan kondisi tangan terikat. Tidak jelas bagaimana mereka meninggal atau kapan mereka dikuburkan. Jenazah yang diambil itu termasuk anak-anak, perempuan, staf medis, orang yang terluka, dan para pasien.

Staf medis dan pengungsi yang berhasil meninggalkan RS tersebut menggambarkan bahwa itu adalah pemandangan horor. Sebab, dua rumah sakit itu berubah dari tempat penyembuhan menjadi kuburan besar. Tentara Israel pun berkelit. Klaim bahwa mereka menguburkan jenazah Palestina disebut sebagai klaim tidak berdasar dan mengada-ada.

Terpisah, Amerika Serikat (AS) kabarnya akan mengenakan sanksi kepada batalyon Netzah Yehuda. Unit militer Israel itu disebut melakukan pelanggaran HAM kepada warga Palestina di Tepi Barat.

Netzah Yehuda didirikan pada 1999 untuk mendorong pria Yahudi ultraortodoks mendaftar. Tetapi sejak itu menerima rekrutan agama lain, termasuk penduduk permukiman Israel di Tepi Barat yang dijajah. Wilayah itu merupakan tempat Netzah Yehuda dikerahkan hingga 2022.

Sejak berdirinya Israel pada 1948, sebagian besar komunitas ultraortodoks telah dikecualikan dari wajib militer. Hal itu memicu amarah warga Israel. Sebab, mayoritas warga Israel diharuskan wajib militer. Yakni, tiga tahun untuk pria dan dua tahun untuk wanita.

Sumber-sumber AS menyebutkan, apabila Departemen Luar Negeri AS menetapkan sanksi kepada Netzah Yehuda, unit itu akan dilarang menerima bantuan atau pelatihan apa pun dari militer AS.

Bermula pada Januari 2022, kematian warga AS keturunan Palestina, Omar Assad, menarik perhatian berbagai pihak terhadap batalyon itu. Deplu AS memerintah staf kedutaan Israel untuk menyelidiki kasus itu. Assad diketahui diborgol, disumpal, dan ditutup matanya. Dia juga dibiarkan tergeletak di tanah tengkurap selama lebih dari satu jam di tengah malam pada musim dingin hingga tewas.

Saat AS menyelidiki kematian Assad, batalyon itu dipindahkan ke Dataran Tinggi Golan yang dianeksasi. Namun, sejak perang Israel-Hamas dimulai pada 7 Oktober, Netzah Yehuda telah dikerahkan kembali ke Tepi Barat, termasuk dikirim ke Gaza.

Dalam percakapannya via telepon kepada Menlu AS Antony Blinken, Menteri Kabinet Perang Israel Benny Gantz mengimbau agar AS memikirkan ulang keputusan itu. Menurut Gantz, menetapkan sanksi ke Netzah Yehuda akan merusak legitimasi Israel pada masa perang. ’’Tidak ada justifikasi untuk menetapkan sanksi karena unit-unit militer secara konsisten patuh pada hukum internasional,’’ katanya berdalih.(dee/c19/bay/jpg)

Exit mobile version