Site icon Riau Pos

Defisit APBN Berpotensi Melebar ke 2,2 Persen

Defisit APBN Berpotensi Melebar ke 2,2 Persen

JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kembali defisit. Tahun ini angkanya bisa berada pada level 2,2 persen. Prediksi itu lebih tinggi dari target awal yang berkisar 1,84 persen dari PDB. Agar defisit tidak berlanjut sampai tahun depan, pemerintah mengimbau seluruh kementerian mengencangkan ikat pinggang alias berhemat.

Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara berharap kementerian/lembaga (K/L) tidak membuat anggaran baru menjelang pergantian tahun ini. Tujuannya tentu saja agar defisit tidak melebar.

"Kementerian dan lembaga jangan mengeluarkan biaya yang tidak perlu," tegasnya dalam Dialog APBN untuk Indonesia Maju di gedung Kemenkeu Selasa (10/12).

Staf K/L, menurut Suahasil, biasanya tidak pernah kekurangan ide brilian untuk merancang program baru. “Bikin ini, bikin itu,” sindirnya.

Kemenkeu, menurut dia, akan benar-benar mempertimbangkan penganggaran pada akhir tahun ini. Semuanya bakal disusun berdasar prioritas. Artinya, Kemenkeu dan seluruh K/L yang lain berpartisipasi dalam menciptakan APBN yang sehat dan menjaga pertumbuhan ekonomi.

Di sisi lain, dengan bersikap selektif, K/L ikut menjalankan fungsi alokasi APBN. Lewat fungsi itu, APBN menjadi instrumen efektivitas perekonomian. Selain alokasi, APBN punya fungsi distribusi. Maka, segala jenis anggaran negara harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.

APBN, imbuh Suahasil, juga merupakan penyeimbang perekonomian. Terutama saat lemah seperti sekarang. “Kalau pesta terus, piring kotor tambah banyak, cuci makin susah,” ujarnya.

Selain itu, APBN harus bisa beradaptasi dengan kebutuhan masyarakat. Belakangan, publik semakin akrab dengan perekonomian digital. Aktivitas jual beli dan transaksi terjadi di dunia maya secara digital. Maka, pemerintah perlu menyusun regulasi yang bisa menggenjot penerimaan pajak berbasis teknologi seperti e-commerce.

Kemenkeu mencatat bahwa realisasi belanja pemerintah mencapai Rp 1.634 triliun atau 68,6 persen dari target APBN 2019 per Oktober lalu. Besaran belanja sepuluh K/L mencapai 84,8 persen dari pagu anggaran. Realisasi belanja paling tinggi terjadi pada Kementerian Sosial sebesar 89,1 persen. Itu sejalan dengan tingginya bantuan sosial (bansos).

Di tempat yang sama, Menteri Keuangan 2013–2014 Chatib Basri membagikan beberapa tip untuk mengoptimalkan pengelolaan APBN. Menurut dia, ada beberapa sektor yang perlu ditinjau ulang. Di antaranya, sektor pendidikan dan dana alokasi daerah. Selama ini, anggaran pada sektor-sektor itu sudah besar. Tapi, dampak yang ditimbulkan dari kucuran dana yang besar itu tidak signifikan.

"Misalnya, tunjangan profesi guru, alokasi trans-daerah, uangnya ngendap. Jadi, mesti dilihat alokasi kementerian. Jangan-jangan bukan soal uangnya enggak ada, tapi desainnya," sambung Chatib.

Dia juga menyoroti kinerja pemerintah pada sektor pajak. Menurut dia, seharusnya pemerintah lebih selektif dan cermat dalam memberikan insentif pajak. Kunci utamanya adalah tepat sasaran dan tepat guna.

"Soal insentif pajak saya dengar dari Kemenkeu jumlahnya Rp 240 triliun. Itu angkanya besar loh. Apakah itu efektif? Yang diperlukan oleh private sector (atau) enggak? Percuma dikasih insentif, tapi enggak membuat investasi jadi naik," tegasnya.

Selain itu, defisit anggaran yang melebar membuat pemerintah harus menerbitkan surat utang (bond) lebih banyak. Namun, jika hal itu dilakukan, akan ada persaingan antara pemerintah dan perbankan –terutama bagi bank– dalam menghimpun dana pihak ketiga (DPK). Akibatnya, penyaluran kredit melemah.

Chatib menjelaskan, dengan imbal hasil (yield) bond 8–8,5 persen atau di atas rata-rata bunga deposito yang sekitar 7 persen, kondisi itu tentu akan menguntungkan para pemegang bond. "Ini yang mesti kita (cermati) lebih jauh. Jadi kalau currency risk dikecilin, mungkin yield bond bisa lebih rendah sehingga isu crowding out bisa diatasi," tuturnya.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Erizal

REALISASI DEFISIT APBN

2015: Rp 287 T (2,8 persen dari PDB)

2016: Rp 307,7 T (2,46 persen dari PDB)

2017: Rp 345 T (2,57 persen dari PDB)

2018: Rp 287,9 T (1,72 persen dari PDB)

2019 (perkiraan): 2,2 persen dari PDB

Sumber: Kementerian Keuangan
 

Exit mobile version