Sabtu, 23 November 2024
spot_img

Budaya Perayaan Imlek dan Agama Buddha

Musim Semi telah tiba
Bunga meihua mulai bermekaran
Rayakan Tahun Baru Imlek dengan sukacita
Namun hendaknya patuhi protokol kesehatan

Tahun Baru Imlek yang disebut juga sin cia, dirayakan berbagai warga di seluruh dunia pada tanggal 1 bulan 1 berdasarkan kalender bulan (Imlek).

Tahun Baru Imlek yang dilarang pada masa Orde Baru berdasarkan Inpres No.14/1967 tentang Pembatasan Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina, telah dicabut pada masa Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan Keppres No.6/2000. Imlek sebagai salah satu hari libur nasional pasca reformasi berdasarkan Keppres RI No.19/2002 telah dirayakan secara terbuka, namun tampaknya masih banyak yang salah memahaminya sebagai hari raya agama Buddha.

Kesalahpahaman tersebut bisa jadi karena sebagian besar umat Buddha Indonesia juga merayakan Imlek, termasuk di berbagai daerah di Bumi Lancang Kuning ini. Ditambah lagi stigma dan anggapan bahwa yang bergama Buddha itu umumnya orang-orang Tionghoa.

Tahun Baru Imlek yang biasanya disingkat Imlek, sebenarnya berawal dari suatu perayaan budaya untuk menyambut musim semi (cun jie) setelah berakhirnya musim dingin, yang dilaksanakan para leluhur suku Tionghoa sejak masa pemerintahan Kaisar Huang Di (2698-2598 SM), sekitar tahun 2637 SM. Biasanya disebut juga Festival Musim Semi, Spring Festival, Nongli Xinnian atau Guonian.

Imlek berasal dari dialek Hokkian yaitu im, berarti bulan, dan lek yang berarti kalender. Imlek atau bahasa Mandarinnya Yinli, berarti kalender bulan. Tahun Baru Imlek berarti tahun baru yang dihitung berdasarkan peredaran bulan mengelilingi matahari. Sejatinya, penanggalan kalender (Imlek) menggabungkan perhitungan bulan, matahari, dua unsur energi positif dan negatif (ying-yang), konstelasi atau astrologi 12 shio (tikus, kerbau, harimau, kelinci, naga, ular, kuda, kambing, kera, ayam, anjing, dan babi), musim, dan 5 unsur (kayu, api, tanah, logam, dan air).

Meskipun penanggalan Tahun Baru Imlek secara tradisional tidak menggunakan nomor tahun perayaan, seringkali dinomori dari masa pemerintahan Huang Di atau tahun kelahiran Kaisar Kuning tersebut. Dalam perkembangannya, Imlek dirayakan sebagai hari pergantian tahun baru yang disebut He Lek.

Di Indonesia, Tahun Baru Imlek umumnya berpatokan pada tahun kelahiran tokoh Kong Hu Cu (Kongzi) yaitu tahun 551 SM sebagai penghormatan atas sarannya menggunakan kembali sistem penanggalan Dinasti Xia/Hsia (2100-1600SM). Untuk tahun ini, perhitungannya 551 SM + 2022 = 2573 (Kongzili).

Memahami sekilas sejarah awal tersebut, maka sebenarnya perayaan tahun baru imlek bukan didasarkan pada perayaan agama tertentu, termasuk agama Buddha. Imlek boleh dirayakan secara lintas agama khususnya yang memiliki garis keturunan Tionghoa.

Dalam merayakan Imlek, warga Tionghoa biasanya mewujudkan rasa syukurnya sesuai dengan agama dan kepercayaannya itu. Yang Buddhis, Taois, dan Confucius, melaksanakan penghormatan (puja) kepada yang patut dihormati seperti kepada Tuhan Yang Maha Esa, para suci, termasuk kepada para leluhurnya. Praktik “sembahyang” tersebut tentu tidak bertentangan dengan ajaran agama-agama. Bagi Tionghoa yang Nasrani dan Muslim, juga boleh merayakannya.

Baca Juga:  Mengingatkan Kembali Etos Kerja Guru

Tradisi budaya yang baik dalam perayaan Imlek atau tradisi lainnya yang tidak bertentangan dengan ajaran agama, tentu baik untuk dilestarikan dan dilaksanakan. Kebiasaan berdoa, paicia seperti bersilaturahmi pada saat suasana hari raya, berbagi kasih kepada anak-anak, orang yang patut dikasihi, bahkan kepada semua makhluk lainnya.

Bersempena dengan budaya perayaan Tahun Baru Imlek, banyak sisi positif dari nilai humanisme dan spiritualnya, baik menjelang maupun dalam suasana sin cia. Nilai-nilai itu seperti kebersamaan, kekeluargaan, berbagi kasih, membersihkan rumah termasuk altar dan rumah ibadah. Semangat kerjasama dan saling mengasihi akan menumbuhkan ikatan batin antaranggota keluarga.

Pada malam menjelang pergantian Tahun Baru Imlek (chuxi), semua anggota keluarga berkumpul dan makan bersama (reuni), saling bercengkrama dalam suasana sukacita, merupakan salah satu momen indah yang tidak mudah dilupakan. Di malam itu, biasanya setiap keluarga juga akan mengamalkan nilai spiritual yaitu berdoa agar hidup harmonis, berkah berlimpah, dan bahagia.

Pada hari pertama di Tahun Baru Imlek, semua anggota keluarga memberikan penghormatan kepada Tuhan Yang Maha Esa, para suci, dan kepada para leluhurnya. Dilanjutkan dengan penghormatan kepada orangtua layaknya memberikan penghormatan kepada para Buddha-Bodhisattva.

Dalam kitab suci Mangala Sutta, Sang Buddha bersabda bahwa menghormati mereka yang patut dihormati, merupakan berkah utama. Selain penghormatan kepada Tuhan Yang Maha Esa, mereka yang patut dihormati adalah mereka yang mulia, berbudi luhur, yang memberikan jasa, seperti orang tua, guru, para suci, dan lainnya.

Penghormatan kepada yang patut dihormati dengan cara bersujud ( bernamaskara ), akan membawa berkah dan kebahagiaan seperti yang tertulis dalam kitab suci Dhammapada 332, yaitu :

Berlaku baik terhadap ibu merupakan suatu kebahagiaan di dunia ini,
Berlaku baik terhadap ayah juga merupakan kebahagiaan
Berlaku baik kepada para pertapa merupakan suatu kebahagiaan di dunia ini,
Berlaku baik terhadap para Ariya (yang dimuliakan) juga merupakan kebahagiaan.

Kebiasaan memberikan angpao (berarti amplop merah) kepada yang patut dikasihi dan kepada orang-orang berbudi, merupakan bentuk doa nyata dan praktik berdana guna melatih cinta kasih dan keegoisan.

Dalam merayakan Tahun Baru Imlek, secara tradisi biasanya ditempelkan kertas atau digantungkan berbagi pernah-pernik di depan pintu dan ruangan rumah. Di antaranya lampion, sepasang syair kembar (kuplet), dewa rezeki, lukisan tahun baru, dan lainnya dengan tujuan agar doa dan harapan baik di tahun baru dapat terwujud.

Baca Juga:  Sering Diidentikkan dengan Konten Negatif, Buzzer Juga Miliki Dampak Positif

Warna merah yang mendominasi dalam suasana perayaan Imlek dalam tradisi budaya Tionghoa merupakan simbol dari sukacita, semangat, harapan dan kebahagiaan.

Agama Buddha memiliki toleransi yang sangat besar terhadap akulturasi budaya dan tradisi yang baik, sehingga keduanya dapat sejalan penuh keharmonisan.

Agama Buddha tidak menolak berbagai tradisi budaya sepanjang dilaksanakan dengan bijaksana dan memberikan manfaat bagi orang banyak dan makhluk lainnya. Selama dapat memberikan kebahagiaan dan nilai-nilai budi pekerti, bakti, tata krama, belas kasih dan keharmonisan hidup, maka tradisi budaya itu boleh terus dipraktikkan.

Imlek dan Penghormatan kepada Maitreya

Dalam penanggalan bulan (lunar calender), umat Buddha Mahayana biasanya melaksanakan puja khusus kepada Bodhisattva Maitreya (Mi Le Phusa) sebagai samma-sambuddha yang akan hadir dalam kalpa sekarang ini. Puja tersebut dilaksanakan sebagai wujud keyakinan kepada Maitreya yang pernah terlahir kota Feng-hua pada masa Lima Dinasti (907-960 M). Saat itu, beliau dikenal dengan Qici, atau Bhiksu Berkantong (Bu Dai) yang gemuk dan selalu tersenyum.

Di berbagai daerah di Asia, puja khusus kepada Maitreya acapkali dirayakan bertepatan dengan Tahun Baru Imlek sejak lebih 1.000 tahun yang lalu. Dahulu bangsa Uyghur yang memakai kalender Sino-Uyghur, merayakan kelahiran Maitreya bertepatan dengan perayaan Imlek. Bangsa Korea juga memuja Maitreya (Mireuk) pada saat yang hampir bersamaan.

Pemujaan dan doa dilantunkan kepada Maitreya dalam berbagai kepercayaan di Tiongkok dilaksanakan saat Tahun Baru Imlek juga. Tahun Baru Imlek dianggap secara simbolis sebagai momen saat Maitreya datang membawa era baru penuh harapan, sukacita, kebahagiaan, dan kedamaian.

Tahun baru Losar yang dirayakan di Tibet, juga didasarkan pula pada momen Imlek dengan pawai Bodhisattva Maitreya, yang telah berlangsung sejak ratusan tahun lamanya.

Demikianlah sekilas tradisi budaya Imlek yang dirayakan oleh semua orang dengan penuh kegembiraan, termasuk oleh umat Buddha di berbagai daerah. Budaya Imlek dan agama Buddha telah berakulturasi dengan sedemikian indahnya dan penuh toleransi. Perayaan Imlek merupakan momen yang tepat untuk merefleksi pengalaman setahun yang telah berlalu untuk menyongsong hari esok yang lebih baik. Imlek adalah semangat untuk meningkatkan rasa kekeluargaan dan persaudaraan dengan semua orang. Semoga Imlek membawa berkah, semoga semua makhluk berbahagia.

Gong xi fa cai, he jia ping an, Shen ti jian kang, wan shi ru yi.

Selamat Tahun Baru Imlek dan berbahagia, keluarga harmonis, semua urusan lancar, dan berkah berlimpah.***

 

Musim Semi telah tiba
Bunga meihua mulai bermekaran
Rayakan Tahun Baru Imlek dengan sukacita
Namun hendaknya patuhi protokol kesehatan

Tahun Baru Imlek yang disebut juga sin cia, dirayakan berbagai warga di seluruh dunia pada tanggal 1 bulan 1 berdasarkan kalender bulan (Imlek).

- Advertisement -

Tahun Baru Imlek yang dilarang pada masa Orde Baru berdasarkan Inpres No.14/1967 tentang Pembatasan Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina, telah dicabut pada masa Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan Keppres No.6/2000. Imlek sebagai salah satu hari libur nasional pasca reformasi berdasarkan Keppres RI No.19/2002 telah dirayakan secara terbuka, namun tampaknya masih banyak yang salah memahaminya sebagai hari raya agama Buddha.

Kesalahpahaman tersebut bisa jadi karena sebagian besar umat Buddha Indonesia juga merayakan Imlek, termasuk di berbagai daerah di Bumi Lancang Kuning ini. Ditambah lagi stigma dan anggapan bahwa yang bergama Buddha itu umumnya orang-orang Tionghoa.

- Advertisement -

Tahun Baru Imlek yang biasanya disingkat Imlek, sebenarnya berawal dari suatu perayaan budaya untuk menyambut musim semi (cun jie) setelah berakhirnya musim dingin, yang dilaksanakan para leluhur suku Tionghoa sejak masa pemerintahan Kaisar Huang Di (2698-2598 SM), sekitar tahun 2637 SM. Biasanya disebut juga Festival Musim Semi, Spring Festival, Nongli Xinnian atau Guonian.

Imlek berasal dari dialek Hokkian yaitu im, berarti bulan, dan lek yang berarti kalender. Imlek atau bahasa Mandarinnya Yinli, berarti kalender bulan. Tahun Baru Imlek berarti tahun baru yang dihitung berdasarkan peredaran bulan mengelilingi matahari. Sejatinya, penanggalan kalender (Imlek) menggabungkan perhitungan bulan, matahari, dua unsur energi positif dan negatif (ying-yang), konstelasi atau astrologi 12 shio (tikus, kerbau, harimau, kelinci, naga, ular, kuda, kambing, kera, ayam, anjing, dan babi), musim, dan 5 unsur (kayu, api, tanah, logam, dan air).

Meskipun penanggalan Tahun Baru Imlek secara tradisional tidak menggunakan nomor tahun perayaan, seringkali dinomori dari masa pemerintahan Huang Di atau tahun kelahiran Kaisar Kuning tersebut. Dalam perkembangannya, Imlek dirayakan sebagai hari pergantian tahun baru yang disebut He Lek.

Di Indonesia, Tahun Baru Imlek umumnya berpatokan pada tahun kelahiran tokoh Kong Hu Cu (Kongzi) yaitu tahun 551 SM sebagai penghormatan atas sarannya menggunakan kembali sistem penanggalan Dinasti Xia/Hsia (2100-1600SM). Untuk tahun ini, perhitungannya 551 SM + 2022 = 2573 (Kongzili).

Memahami sekilas sejarah awal tersebut, maka sebenarnya perayaan tahun baru imlek bukan didasarkan pada perayaan agama tertentu, termasuk agama Buddha. Imlek boleh dirayakan secara lintas agama khususnya yang memiliki garis keturunan Tionghoa.

Dalam merayakan Imlek, warga Tionghoa biasanya mewujudkan rasa syukurnya sesuai dengan agama dan kepercayaannya itu. Yang Buddhis, Taois, dan Confucius, melaksanakan penghormatan (puja) kepada yang patut dihormati seperti kepada Tuhan Yang Maha Esa, para suci, termasuk kepada para leluhurnya. Praktik “sembahyang” tersebut tentu tidak bertentangan dengan ajaran agama-agama. Bagi Tionghoa yang Nasrani dan Muslim, juga boleh merayakannya.

Baca Juga:  Sering Diidentikkan dengan Konten Negatif, Buzzer Juga Miliki Dampak Positif

Tradisi budaya yang baik dalam perayaan Imlek atau tradisi lainnya yang tidak bertentangan dengan ajaran agama, tentu baik untuk dilestarikan dan dilaksanakan. Kebiasaan berdoa, paicia seperti bersilaturahmi pada saat suasana hari raya, berbagi kasih kepada anak-anak, orang yang patut dikasihi, bahkan kepada semua makhluk lainnya.

Bersempena dengan budaya perayaan Tahun Baru Imlek, banyak sisi positif dari nilai humanisme dan spiritualnya, baik menjelang maupun dalam suasana sin cia. Nilai-nilai itu seperti kebersamaan, kekeluargaan, berbagi kasih, membersihkan rumah termasuk altar dan rumah ibadah. Semangat kerjasama dan saling mengasihi akan menumbuhkan ikatan batin antaranggota keluarga.

Pada malam menjelang pergantian Tahun Baru Imlek (chuxi), semua anggota keluarga berkumpul dan makan bersama (reuni), saling bercengkrama dalam suasana sukacita, merupakan salah satu momen indah yang tidak mudah dilupakan. Di malam itu, biasanya setiap keluarga juga akan mengamalkan nilai spiritual yaitu berdoa agar hidup harmonis, berkah berlimpah, dan bahagia.

Pada hari pertama di Tahun Baru Imlek, semua anggota keluarga memberikan penghormatan kepada Tuhan Yang Maha Esa, para suci, dan kepada para leluhurnya. Dilanjutkan dengan penghormatan kepada orangtua layaknya memberikan penghormatan kepada para Buddha-Bodhisattva.

Dalam kitab suci Mangala Sutta, Sang Buddha bersabda bahwa menghormati mereka yang patut dihormati, merupakan berkah utama. Selain penghormatan kepada Tuhan Yang Maha Esa, mereka yang patut dihormati adalah mereka yang mulia, berbudi luhur, yang memberikan jasa, seperti orang tua, guru, para suci, dan lainnya.

Penghormatan kepada yang patut dihormati dengan cara bersujud ( bernamaskara ), akan membawa berkah dan kebahagiaan seperti yang tertulis dalam kitab suci Dhammapada 332, yaitu :

Berlaku baik terhadap ibu merupakan suatu kebahagiaan di dunia ini,
Berlaku baik terhadap ayah juga merupakan kebahagiaan
Berlaku baik kepada para pertapa merupakan suatu kebahagiaan di dunia ini,
Berlaku baik terhadap para Ariya (yang dimuliakan) juga merupakan kebahagiaan.

Kebiasaan memberikan angpao (berarti amplop merah) kepada yang patut dikasihi dan kepada orang-orang berbudi, merupakan bentuk doa nyata dan praktik berdana guna melatih cinta kasih dan keegoisan.

Dalam merayakan Tahun Baru Imlek, secara tradisi biasanya ditempelkan kertas atau digantungkan berbagi pernah-pernik di depan pintu dan ruangan rumah. Di antaranya lampion, sepasang syair kembar (kuplet), dewa rezeki, lukisan tahun baru, dan lainnya dengan tujuan agar doa dan harapan baik di tahun baru dapat terwujud.

Baca Juga:  Persepsi Publik Terhadap Tindakan Korupsi

Warna merah yang mendominasi dalam suasana perayaan Imlek dalam tradisi budaya Tionghoa merupakan simbol dari sukacita, semangat, harapan dan kebahagiaan.

Agama Buddha memiliki toleransi yang sangat besar terhadap akulturasi budaya dan tradisi yang baik, sehingga keduanya dapat sejalan penuh keharmonisan.

Agama Buddha tidak menolak berbagai tradisi budaya sepanjang dilaksanakan dengan bijaksana dan memberikan manfaat bagi orang banyak dan makhluk lainnya. Selama dapat memberikan kebahagiaan dan nilai-nilai budi pekerti, bakti, tata krama, belas kasih dan keharmonisan hidup, maka tradisi budaya itu boleh terus dipraktikkan.

Imlek dan Penghormatan kepada Maitreya

Dalam penanggalan bulan (lunar calender), umat Buddha Mahayana biasanya melaksanakan puja khusus kepada Bodhisattva Maitreya (Mi Le Phusa) sebagai samma-sambuddha yang akan hadir dalam kalpa sekarang ini. Puja tersebut dilaksanakan sebagai wujud keyakinan kepada Maitreya yang pernah terlahir kota Feng-hua pada masa Lima Dinasti (907-960 M). Saat itu, beliau dikenal dengan Qici, atau Bhiksu Berkantong (Bu Dai) yang gemuk dan selalu tersenyum.

Di berbagai daerah di Asia, puja khusus kepada Maitreya acapkali dirayakan bertepatan dengan Tahun Baru Imlek sejak lebih 1.000 tahun yang lalu. Dahulu bangsa Uyghur yang memakai kalender Sino-Uyghur, merayakan kelahiran Maitreya bertepatan dengan perayaan Imlek. Bangsa Korea juga memuja Maitreya (Mireuk) pada saat yang hampir bersamaan.

Pemujaan dan doa dilantunkan kepada Maitreya dalam berbagai kepercayaan di Tiongkok dilaksanakan saat Tahun Baru Imlek juga. Tahun Baru Imlek dianggap secara simbolis sebagai momen saat Maitreya datang membawa era baru penuh harapan, sukacita, kebahagiaan, dan kedamaian.

Tahun baru Losar yang dirayakan di Tibet, juga didasarkan pula pada momen Imlek dengan pawai Bodhisattva Maitreya, yang telah berlangsung sejak ratusan tahun lamanya.

Demikianlah sekilas tradisi budaya Imlek yang dirayakan oleh semua orang dengan penuh kegembiraan, termasuk oleh umat Buddha di berbagai daerah. Budaya Imlek dan agama Buddha telah berakulturasi dengan sedemikian indahnya dan penuh toleransi. Perayaan Imlek merupakan momen yang tepat untuk merefleksi pengalaman setahun yang telah berlalu untuk menyongsong hari esok yang lebih baik. Imlek adalah semangat untuk meningkatkan rasa kekeluargaan dan persaudaraan dengan semua orang. Semoga Imlek membawa berkah, semoga semua makhluk berbahagia.

Gong xi fa cai, he jia ping an, Shen ti jian kang, wan shi ru yi.

Selamat Tahun Baru Imlek dan berbahagia, keluarga harmonis, semua urusan lancar, dan berkah berlimpah.***

 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari